Bani Ghifar
adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh
dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal
sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah
serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan
menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang
tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang
jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.
Nama
lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal
dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani
Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai
utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini
sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik
kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah.
Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah
syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tau apa
sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan
utusan Allah itu. Dan setelah beberapa lama, kembalilah Unais
kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan
didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Ditanyakan oleh Abu
Dzar kepada Unais : “Apa yang telah kamu lakukan ?”, tanyanya. Unais
menjelaskan : “Aku sungguh telah menemui seorang pria yang menyeru
kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek”.
Abu Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?”.
Unais
menjawab : “Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang sya’ir,
tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa
mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan
omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya
dengan omongan para tukang sya’ir, ternyata amat berbeda omongannya
dengan bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang
benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.
Mendengar
laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu
sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah
mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk
berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan
sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Ka’bah dan tinggal
padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Dia sempat bertanya kepada
orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan telah
meninggalkan agama nenek moyangnya ? Orang-orangpun segera menunjukkan
kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya dan bersinar
wajahnya bak bulan purnama. Abu Dzar memang amat berhati-hati, dalam
kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan menentang Nabi
Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun di Makkah
dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya bila
dia adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat
dari tuannya. Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak
mempunyai qabilah pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian
mencekam, Abu Dzar tidak gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal
apa yang sedang dicarinya dan apa yang diinginkannya.
Dia hanya
menanti dan menanti di Ka’bah, dalam keadaan semua perbekalannya telah
habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya dengan
minum air zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian terus
suasana penantian itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu
Dzar selama itu tidak kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini
sungguh sebagai karamah air zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya
serasa semakin gemuk selama tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang
dinantinya ? yang dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog
langsung dengan pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk
mengetahui darinya langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia
setiap harinya terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng
tersebut dan sikap masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.
Di suatu
hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di salah
satu pojok Ka’bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan
langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ? Segera
saja Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan
kepadanya : Kemarilah ikut ke rumahku. Maka Abu Dzarpun pergi kerumah
Ali untuk dijamu sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan
tuan rumahpun tidak tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota
Makkah. Dan setelah dijamu, Abu Dzarpun kembali ke Ka’bah tanpa
bercerita panjang dengan tuan rumah. Tapi Ali bin Abi Thalib melihat
pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu keperluan yang sangat
dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali berjumpa lagi dengan
tamunya di Ka’bah dan segera menanyainya : “Apakah hari ini anda akan
kembali ke kampung ?”. Abu Dzar menjawab dengan tegas : “Belum !”.
Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : “Apa
sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?”. Dan
Abu Dzarpun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya
orang Quraisy yang telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu
asing ini. Tetapi Abu Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang
menjamunya ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia
balik mengajukan syarat bernada tantangan : “Bila engkau berjanji akan
merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu”. Langsung saja
Ali menyatakan janjinya : “Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu”. Dan
Abu Dzar tidak ragu lagi dengan janji pemuda Quraisy yang terhormat ini,
sehingga dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : “Telah
sampai kepada kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi”. Mendengar
kata-kata Abu Dzar itu Ali menyambutnya dengan gembira dan menyatakan
kepadanya : “Engkau sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana
aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku
melihat bahaya yang mengancammu, maka aku akan memberi isyarat kepadamu
dengan berdiri mendekat ke tembok dan aku seolah-olah sedang memperbaiki
alas kakiku. Dan bila aku lakukan demikian, maka segera engkau pergi
menjauh”. Maka Abu Dzarpun mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan
dengan tidak mendapati halangan apa-apa, akhirnya dia sampai juga di
hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan langsung
menanyakan kepada beliau. Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar
dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar
menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba
Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka
bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang
kembali untuk bergabung dengan kami”.
Mendengar
wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi
wa aalihi wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran,
sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk
Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.
Segera saja
Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka’bah banyak berkumpul
para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang berkumpul
padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan
menyatakan : “Wahai orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi
pula Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah”.
Mendengar
omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka
berteriak memerintahkan orang-orang di situ : “Bangkitlah kalian, kejar
orang murtad itu”. Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari
memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih
ada Al Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang
disegani kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas berteriak kepada
masyarakat yang sedang beringas memukuli Abu Dzar : “Celakalah kalian,
apakah kalian akan membunuh seorang dari kalangan Bani Ghifar yang
kalian harus melalui kampungnya di jalur perdagangan kalian”. Demi
masyarakat mendapat teriakan demikian, merekapun melepaskan Abu Dzar
yang telah babak belur bersimbah darah akibat dari pengeroyokan itu.
Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila meyakini kebenaran
sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan keyakinannya di
hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko seberat apapun. Dan
apa yang dihadapinya hari ini, tidak menciutkan nyalinya untuk mengulang
proklamasi keimanannya di depan Ka’bah menantang para dedengkot kafir
Quraisy. Keesokan harinya dia mengulangi proklamasi keimanan yang penuh
keberanian itu, dan teriakan syahadatainnya menimbulkan kembali
berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga mereka memerintahkan untuk
mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya
ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan
oleh masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah
darah seperti kemaren.
Setelah dia
puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi masuk
Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa.
Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi
wa aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar.
Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin menda’wahi
keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam,
kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu Al Waqi’ah Al
Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar telah masuk
Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah menyatakan bahwa bila Nabi
Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah hijrah ke Madinah
maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja mereka berbondong-bondong
masuk Islam setelah sampainya berita di kampung mereka bahwa Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah hijrah ke Al Madinah An
Nabawiyah.
Hijrah Ke Al Madinah :
Dengan
telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan
Bader dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk
berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar
berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan
selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba
ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan
selalu mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan beliau menyesal bila
di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya. Sehingga beliau
menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada halangan apa.
Begitu
dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu
hari pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi
wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya :
(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)
“Sesungguhnya
engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah
amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan
penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang
mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah
jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :
(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)
“Wahai Abu
Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa
berbagai mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah
musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab :
“Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan :
“Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim
Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.
Asma’ bintu
Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar setelah
menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat
tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran
padanya. Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan
telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzarpun duduk dengan sempurna.
Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?. Maka dia
menjawab : Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain
masjid ? Maka Rasulullahpun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya
kepadanya : Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid
ini ?. Abu Dzar menjawabnya : Aku akan pindah ke negeri Syam, karena
Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang
mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri
itu. Kemudian Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi
kepadanya : Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka
Abu Dzar menjawab : Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan
masjid ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya
lagi : Bagaimana kalau engkau diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar
menjawab : Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan
memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati. Maka Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban
Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku tunjukkan
kepadamu yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan :
Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah. Maka beliaupun
menyatakan kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia
perintahkan kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh
penguasamu, sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam
qubur) dalam keadaan mentaati penguasamu itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya
jilid 6 hal. 457.
Disamping
berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
tersebut, dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini :
(tulis haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 161).
“Tidak ada
makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh
bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar”. HR. Ibnu Sa’ad dalam
Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam
Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhuma.
Abu Dzar berjuang sendirian :
Setelah
wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar
cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah
orang yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan
segenap ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
disamping kebenciannya kepada segala bentuk kebid’ahan (yakni segala
penyimpangan dari ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam). Dia
adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan
faqir dan miskin. Karena dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi
sebagaimana yang beliau ceritakan : (artinya) “Telah berwasiat kepadaku
orang yang amat aku cintai (Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara :
Beliau memerintahkan aku untuk mencintai orang-orang miskin dan
mendekati mereka, dan beliau memerintahkan aku untuk selalu melihat
keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau memerintahkan kepadaku
juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun untuk mendapatkan
keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap menyambung
silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku. Demikian pula
aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit
untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam
menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la
haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak
ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah
simpanan perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah”. HR. Ahmad
dalam Musnadnya jilid 5 hal. 159.
Abu Dzar
mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup di
zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al
Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu
Dzar dari yang lainnya, kata Al Ahnaf : “Aku pernah masuk kota Al
Madinah di suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di suatu halaqah
(ya’ni duduk bergerombol dengan formasi duduknya melingkar) dengan
orang-orang Quraisy. Tiba-tiba datanglah ke halaqah itu seorang pria
yang compang camping bajunya, badannya kurus kering, dan wajahnya
menunjukkan kesengsaraan hidup, dan orang inipun berdiri di hadapan
mereka seraya berkata : Beri kabar gembira bagi orang-orang yang
menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman adzab Allah berupa dihimpit
batu yang amat panas karena batu itu dibakar diatas api, dan batu
itupun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam padanya sehingga
batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan batu panas itu
di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya, demikian terus sehingga
batu panas itu naik turun antara dada dan tulang pundaknya.
Mendengar
omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan
kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari
hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang itupun segera
meninggalkan halaqah tersebut dan duduk menjauh daripadanya . Maka
akupun bertanya kepada yang hadir di halaqah itu : Siapakah dia ini ?,
mereka menjawab : Dia adalah Abu Dzar.
Demi aku
melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk menyendiri
dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku melihat,
mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau
ucapkan.
Abu Dzarpun
menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti sama
sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad)
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun
segera memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku :
Engkau lihat gunung Uhud itu ?!.
Aku melihat
gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada punggungnya,
dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu keperluan
padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya.
Kemudian
beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau seandainya aku
punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya sehingga
tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku).
Selanjutnya
Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya selalu
mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama sekali.
Aku katakan
kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari kalangan
orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka
sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka.
Abu Dzar
menjawab dengan tegas dan lantang : Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak akan
meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan minta fatwa
dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung dengan Allah dan
RasulNya”.
Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 – 1408 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 – 35.
Abu Dzar
sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta
yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para
Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat
bahwa harta itu telah dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu
Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di
pemerintahan. Hal ini diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut :
“Ketika Abu
Musa Al Asy’ari datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu Dzar. Maka
Abu Musa berusa merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah seorang pria
yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria yang
hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha
merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku !!
Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.
Abu Dzarpun
menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya : “Aku
bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat
jabatan di pemerintahan”.
Selanjutnya
Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah Abu Hurairah
menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan
kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.
Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ?
Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.
Abu Dzar
selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba membangun
bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ?
Abu Hurairah menjawab : Tidak.
Maka Abu
Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku, engkau
saudaraku”. Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa’ad dalam
Thabaqatnya jilid 3 halaman 163.
Sikap Abu
Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :
(tulis haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 162)
“Orang yang
paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang keadaan
hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku
meninggalkannya untuk mati”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3
hal. 162.
Abu Dzar
keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi
melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan
posisi yang paling dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam di hari kiamat kelak.
Meninggal dunia di tempat pengasingan :
Dengan
sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan
sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia
pernah tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan
radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah bin
Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu dengan
sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan
untuk memanggilnya ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil
kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia segera menta’ati panggilan
itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap Amirul
Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu’minin
bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya
Amirul Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan
kepada beliau : “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak senang dengan posisi
demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di
luar kota Madinah”.
Maka Amirul
Mu’mininpun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu Dzar
dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi
Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau : “Cukuplah bagi Abu
Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri”.
Abu Dzar
segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada
manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi
melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya
dan pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak
perempuannya dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak
wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar
menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al
Qur’an. Sesekali dia turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang
kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.
Di suatu
hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke
Amirul Mu’minin dan di sana ada Ka’ab dan Abdullah bin Abbas sedang
membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi A’uf.
Maka Amirul Mu’minin bertanya kepada Ka’ab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana
menurut pendapatmu bila harta seseorang itu yang telah ditunaikan
zakatnya, apakah akan menjadi mala petaka bagi yang mengumpulkannya.
Maka Ka’ab menjawab : Bila harta itu adalah kelebihan dari harta yang
telah ditunaikan padanya haqnya Allah (yakni zakat), maka yang demikian
itu tidak mengapa.
Mendengar
jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung memukul
Ka’ab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya sehingga
melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Ka’ab : Wahai anaknya perempuan
Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban atasnya dalam perkara
hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas hartanya. Sedangkan Allah
telah berfirman : (artinya)”Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya
dari pada dirinya walaupun menyulitkan dirinya”. S. Al Hasyr 9, juga
Allah berfirman : (artinya)”Mereka kaum Mu’minin itu memberi makan
kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. S. Ad Daher
(dinamakan juga S. Al Insan) ayat ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari
Al Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, yang merupakan
dalil-dalil bagi Abu Dzar atas pendapatnya bahwa seseorang itu dianggap
belum menunaikan kewajibannya atas hartanya bila dia belum
menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali meninggalkannya untuk keperluan
mendesak bagi keluarganya.
Melihat
kejadian itu, Amirul Mu’minin segera menegur Abu Dzar : “Takutlah engkau
kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan
tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu”.
Juga Amirul Mu’minin meminta kepada Ka’ab untuk memaafkan Abu Dzar dan
tidak menuntut hukum qishas (yakni hukum balas) atas Abu Dzar dengan
tindakannya melukai kepala beliau. Dan Ka’abpun akhirnya memaafkannya.
Abu Dzar
kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh kekecewaan dan
kemarahan. Dia semakin senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk
bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia menderita sakit
ditempat pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di
saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar
sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak
bertambah berat penyakit yang dideritanya. Dalam kondisi demikian,
istrinya menangis dihadapannya. Abu Dzar menegurnya : “Mengapa engkau
menangis ?”.
Istrinya
menjawab : “Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam
keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu”.
Maka Abu
Dzar menasehati istrinya : “Jangan engkau menangis, karena aku telah
pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok
orang yang lainnya. Beliau bersabda : “Sungguh salah seorang dari kalian
akan meninggal dunia di padang pasir yang akan disaksikan oleh
sekelompok kaum Mu’minin”.
Kemudian
Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : “Ketahuilah olehmu,
semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah,
telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia
ini dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di
padang pasir seperti yang dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh
karena itu sekarang engkau lihatlah ke jalan. Engkau pasti nanti akan
melihat apa yang aku katakan. Aku tidaklah berdusta dan aku tidak
didustai dengan berita ini (yakni pasti engkau akan mendapati sekelompok
orang yang akan menyaksikan peristiwa kematianku seperti yang
diberitakan oleh Rasulullah)”.
Istrinya menyatakan kepadanya : “Bagaimana mungkin akan ada orang yang engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!”.
Abu Dzar
tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : “Lihatlah jalan
!”. Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan
Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan
Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat
olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah
Rabadhah yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan
Rabadzah. Amat gembira tentunya istri Abu Dzar melihatnya, sehingga
rombongan itupun berhenti didepannya. Orang-orang di rombongan itupun
menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun
menyatakan kepada mereka : “Di sini ada seorang pria Muslim yang hendak
mati, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian
dengan pahalaNya”. Maka merekapun menanyainya : “Siapakah dia ?”
Perempuan itu menjawab : “Dia adalah Abu Dzar”. Mendengar jawaban itu
mereka berlarian turun dari kendaraannya masing-masing menuju gubuknya
Abu Dzar. Dan ketika mereka sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu
Dzar sedang terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Tapi masih sempat
juga Abu Dzar memberi tahu mereka : “Bergembiralah kalian, karena
kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai sekelompok kaum Mu’minin yang
menyaksikan saat kematian Abu Dzar”. Kemudian Abu Dzar menyatakan kepada
mereka : “Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku hari ini. Seandainya
jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak dikafani kecuali
dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah
janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian,
orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh
masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan”.
Semua
anggauta rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat berbagai
kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan kepadanya :
“Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku
mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di
kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku
pakai ini”.
Mendengar
omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta
merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta mengkafani
jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”.
Dengan
penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan selamat
tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat jalan wahai Abu
Dzar untuk menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau rindukan.
Beristirahatlah engkau di sana dari berbagai penderitaan dunia ini.
Jenazah Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera
dishalati serta dikuburkan oleh rombongan kafilah tersebut di Rabadzah
itu.
P e n u t u p :
Anak istri
Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah sepeninggalnya.
Amirul Mu’minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar peristiwa kematian
Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian itu dengan
mengucapkan : “Semoga Allah merahmati Abu Dzar”. Putri Abu Dzar
dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya.
Demikianlah
perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada kenikmatan
hidup di akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan dunia. Dia amat
konsisten dengan pandangan hidupnya, sampaipun dibawa mati. Memang tidak
mesti orang yang sendirian itu dianggap salah, asalkan dia menjalani
kesendirian itu dengan bimbingan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah dengan
pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh.
Duhai,
betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman
pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al
Qur’an dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan
ketaqwaan, sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu, sehingga
memilih hidup menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di zaman ini,
masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Qur’an dan Al
Hadits. Masyarakat yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya
amat dipercaya dan diikuti, sedangkan orang-orang yang jujur justru
dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah tidak karena pertolongan,
petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di zaman ini akan
binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta fitnah yang
mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah jualah yang kita
harapkan untuk mengantarkan kita kepada keridho’anNya.
Daftar Pustaka :
1. Al Qur’an Al Karim.
2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria An Nawawi.
4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Sa’ad.
5. Hilyatul Awliya’ Wa Thabaqatul Ashfiya’, Al Hafidl Abu Nu’aim Al Asfahani.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.
2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria An Nawawi.
4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Sa’ad.
5. Hilyatul Awliya’ Wa Thabaqatul Ashfiya’, Al Hafidl Abu Nu’aim Al Asfahani.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar