Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang
sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah
paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang
batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama
mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan
kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala
tempat?
Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy
sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau
bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak
perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab
budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda,
‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan
yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)
Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada
para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan)
mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat
sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan
realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan
yang sangat jauh.
Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-’Uluw
(sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas
seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-’Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud,
yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang.
Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak,
sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’,
akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang
bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung
ini.
Dalil-Dalil Al Qur’an
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy
adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan
sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.”‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya.
Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan
seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar
penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa
ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.
(Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas
sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala
di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan
sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun
sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa’ di atas
Dalil-Dalil As Sunnah
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah
kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di
atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan
petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang
yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa
saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di
atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam
Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak
perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata
setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah
pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia
segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam
hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya
pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya,
‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka
sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam“. (Mukhtashor Al-’Uluw)
Akan
tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan.
Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan
jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini?
Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata?
Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum
dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak
Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan,
membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang
menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang
wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?
Konsekuensi Jawaban yang Keliru
Alangkah
batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap
tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan
keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor
dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.”
(Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan
bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya
Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini
lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga
tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh
tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di
depan, tidak di belakang karena hal ini berarti Alloh itu tidak ada (??)
maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang
“diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi”
mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh
Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang
salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu”
nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu
Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah
ditegakkan hujjah atas mereka.
Dalil Fitrah
Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli
tentang keberadaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal
tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang
tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit
sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang
juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali
mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika
ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?”
dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa
kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan
umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang
shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan
hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar