Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)"

Sabtu, 17 Maret 2012

Nasihat Untuk Para Pegawai Bank

Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Muroja'ah : Abu Umar 'Utsaimin

Setelah uraian panjang tentang masalah mudharabah dan aplikasinya dalam dunia perbankan syariah, serta sampai pada kesimpulan bahwa sistem mudharabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba, maka saya aturkan tulisan berikut kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat dan peringatan. Semoga diberi kemanfaatan oleh Allah di dunia dan di akhirat.

Hukum Bekerja
di Bank (Syariah)Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz : “… Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba, pen.). Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa dan permusuhan. Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah: 2)
Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah dari Nabi bahwa beliau melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba, penulis, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:
“(Dosa) mereka sama.”
Adapun gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila sebelumnya anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar firman Allah :
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)
Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima disalurkan kepada proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara disertai dengan taubat kepada Allah. Barangsiapa bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, maka Allah  akan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah, 2/195-196, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]
Fatwa serupa juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebagaimana dalam Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 128).
Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang diketuai oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.
Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).
Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank ribawi, walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan). Juga berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 133).
Bahkan hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 132-133).
Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba
1. Allah l berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)
2. Allah juga menegaskan:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh Rasulullah sebagaimana hadits Jabir yang lalu.
4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan: “Tidak ada dalam Kitabullah sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)

Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran
Allah menegaskan dalam firman-Nya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:
Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta tersebut atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidaklah ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat akhir urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)
Pemusnahan di akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa dengan Allah l dalam keadaan sebagai orang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)

Takwa kepada Allah l dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki yang halal
Allah berfirman:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Lafadz ﮟ dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks persyaratan. Secara kaidah ushul fiqih mengandung arti umum, sehingga mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Ini juga memberi isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu cepat.
Bila Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang memberi jalan keluar sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakkal, lalu apa yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan? Ketenangan dan ketentraman hatilah yang semestinya dirasakan.
Rasulullah bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana melimpahkan rezeki kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar, (pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin Al-Khaththab, dan dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/110-111)

Anjuran mencari usaha yang halal dan keutamaan qana’ah
Allah berfirman:
“Maka apabila shalat itu telah usai, maka menyebarlah kalian di atas muka bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (Al-Jumu’ah: 10)
Rasulullah bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dari Miqdam bin Ma’dikarib z)
Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan tawakkal kepada Allah, setelah itu banyak bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah. Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya materi (dunia). Namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Rasulullah bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ
“Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR. Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فـِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan Al-Anshari)
Akhirul kalam, mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah berikut:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit dan dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/263)
Wallahu a’lam bish-shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar