Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Muroja'ah : Abu Umar 'Utsaimin
Setelah
uraian panjang tentang masalah mudharabah dan aplikasinya dalam dunia
perbankan syariah, serta sampai pada kesimpulan bahwa sistem mudharabah
yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba, maka saya aturkan
tulisan berikut kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat
dan peringatan. Semoga diberi kemanfaatan oleh Allah di dunia dan di
akhirat.
Hukum Bekerja
di Bank (Syariah)Fatwa
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz : “… Tidak diperbolehkan
bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba, pen.).
Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa
dan permusuhan. Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah: 2)
Disebutkan
dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah dari Nabi bahwa beliau
melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta
riba, penulis, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:
“(Dosa) mereka sama.”
Adapun
gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila sebelumnya anda
jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar firman Allah :
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
(Al-Baqarah: 275-276)
Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan
tersebut tidak diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima
disalurkan kepada proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara
disertai dengan taubat kepada Allah. Barangsiapa bertaubat kepada
Allah dengan taubat nashuha, maka Allah akan menerima taubatnya
dan mengampuni kesalahannya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan
bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian beruntung.”
(An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah, 2/195-196,
lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]
Fatwa serupa juga
disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebagaimana dalam Fatawa
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa
Buyu’ (hal. 128).
Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang
diketuai oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil:
Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan
dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.
Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).
Fatwa
mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank ribawi,
walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan). Juga
berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 133).
Bahkan
hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan pekerjaan
kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan
hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana fatwa
Asy-Syaikh Ibnu Baz. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 132-133).
Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba
1. Allah l berfirman:
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
2. Allah juga menegaskan:
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh Rasulullah sebagaimana hadits Jabir yang lalu.
4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan: “Tidak ada dalam Kitabullah sebuah
ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras daripada
ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)
Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran
Allah menegaskan dalam firman-Nya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:
Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta tersebut
atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud,
Rasulullah bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidaklah
ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat akhir urusannya
adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)
Pemusnahan di
akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa dengan Allah l dalam
keadaan sebagai orang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)
Takwa kepada Allah l dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki yang halal
Allah berfirman:
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Lafadz ﮟ dalam
ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks
persyaratan. Secara kaidah ushul fiqih mengandung arti umum, sehingga
mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Ini juga memberi
isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu cepat.
Bila
Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang memberi jalan keluar
sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakkal, lalu apa
yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan? Ketenangan dan ketentraman
hatilah yang semestinya dirasakan.
Rasulullah bersabda:
لَوْ
أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ
كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya
kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah
akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana melimpahkan rezeki
kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar, (pulang) sore hari
dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin Al-Khaththab, dan
dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/110-111)
Anjuran mencari usaha yang halal dan keutamaan qana’ah
Allah berfirman:
“Maka
apabila shalat itu telah usai, maka menyebarlah kalian di atas muka
bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (Al-Jumu’ah: 10)
Rasulullah bersabda:
مَا
أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah
ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada
apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabiyullah
Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dari Miqdam
bin Ma’dikarib z)
Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang
halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi
dengan ketakwaan dan tawakkal kepada Allah, setelah itu banyak
bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah.
Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah
kekayaan itu karena banyaknya materi (dunia). Namun kekayaan yang
hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun ‘alaih dari
Abu Hurairah)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Rasulullah bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ
“Sungguh
bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah jadikan
dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR.
Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah:
مَنْ
أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فـِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ
قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Siapa
saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tentram)
jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari
itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR.
At-Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan
Al-Anshari)
Akhirul kalam, mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah berikut:
مَنْ
كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا
كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ
أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ
رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai
cita-cita/harapannya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah
jadikan kefaqiran selalu di pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan
datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan
barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan kumpulkan
urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang
kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari
Zaid bin Tsabit dan dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul
Musnad 1/263)
Wallahu a’lam bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar