Seorang
pemimpin masa Khalifah Ali bin Abi Talib dan awal khilafah Bani
Umayyah. Dia adalah bayi pertama yang lahir dikalangan Muhajirin di
Madinah. Ayahnya bernama Zubair Awwam dan ibunya, Asma binti Abu Bakar
as-Siddiq. Ia sepupu dan juga kemenakan Nabi Muhammad dari istrinya,
Aisyah binti Abu Bakar. Ia termasuk salah seorang dari “Empat
‘Ibadillah” (empat orang yang bernama Abdullah) dari 30 orang lebih
sahabat Nabi yang dikenal menghafal seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, Tiga
orang ‘Ibadillah lainnya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar
bin Khatab, dan Abdullah bin Amr bin As.
Ibnu
Zubair telah mengenal perang sejak berusia 12 tahun, yaitu ketika
bersama ayahnya turut dalam Perang Yarmuk, dan empat tahun kemudian
kembali menyertai ayahnya yang menjadi anggota pasukan Amr bin As di
Mesir. Ibnu Zubair juga mengambil bagian dalam ekspedisi Abdullah bin
Sa’ad bin Abi Sarh melawan orang-orang Byzantium di Afrika. Semua peristiwa tersebut mengundang kekaguman penduduk Madinah kepadanya.
Di masa Khalifah Usman bin Affan, ia duduk sebagai anggota panitia yang bertugas menyusun Al-Qur’an. Di masa KhalifahAli bin Abi Talib, ia bersama Aisyah mengatur langkah untuk menantang Khalifah tersebut untuk menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Usman. Gerakan
ini didukung oleh beberapa tokoh, seperti Ja’la bin Umayyah dari Yaman,
Abdullah bin Amr Basra, Sa’ad bin As, dan Wahid bin Uqbah (pemuka
kalangan Umayyah di Hedzjaz) dan beberapa sahabat senior (Talhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam), dan ayahnya. Perselisihan antara kelompoknya dan kelompok Ali
yang sedang berkuasa diselesaikan dalam Perang Unta (Waqiah al-Jamal).
Dalam perang inilah ia menyaksikan ayahnya gugur. Disebut Perang Unta
karena Aisyah mengendarai unta saat memimpin pasukan itu.
Ibnu Zubair kembali melawan Dinasti Bani Umayyah. Meskipun di masa Mu’awiyah bin
Abi Sufyan bentuk perlawanannya belum bersifat terbuka, ia tampil
menantang khilafah (pemerintahan) Bani Umayyah secara terang-terangan.
Ia memprotes Yazid, putra Mu’awiyah, yang naik menjadi khalifah atas penunjukan ayahnya setelah ayahnya wafat. Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Ibnu Zubair bersama Husein bin Ali (cucu Nabi) dan Abdullah bin
Umar agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Ibnu Zubair dan Husein tetap
membangkang. Demi keamanan, keduanya pindah ke Mekah. Ia tetap sebagai
penantang khalifah sekalipun Husein, tak lama sesudah itu, tewas dengan menyedihkan dalam pertempuran tak seimbang di Karbala.
Pernyataan
secara terbuka, bahwa kekuasaan Yazid tidak sah membawa pengaruh luas
dikalangan ansar di Madinah yang akhirnya melahirkan pemberontakan.
Setelah menunggu kesempatan yang baik, Yazid mengerahkan tentara Suriah
di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah dan memadamkan pemberontakan
orang-orang Madinah tersebut dalam Perang Harran. Kematian Muslim bin
Uqbah tak menghalangi tentara tersebut untuk bergerak menuju Mekah
dengan sasaran mematahkan perlawanan Ibnu Zubair. Tentara tersebut
mengepung dan menghujani kota Mekah dengan batu dan panah api yang
menyebabkan Ka’bah terbakar. Berita meninggalnya Khalifah Yazid
menyebabkan komandan pasukan, Husain bin
Numair, mencoba membujuk Ibnu Zubair agar bersedia bergabung dengan
mereka untuk kembali ke Suriah. Ibnu Zubair menolak bujukan tersebut
dengan mengatakan bahwa ia akan tetap di Mekah. Selanjutnya, ia
memproklamasikan dirinya sebagai amirulmukminin. Sekalipun proklamasi
itu tidak lebih dari sekedar nama, namun lawan-lawan dinasti Bani
Umayyah di Suriah, Mesir, Arab Selatan, dan Kufah sempat menghargainya
sebagai khalifah.
Setelah Mu’awiyah putra dan pengganti Yazid meninggal dunia, Ibnu Zubair muncul sebagai kandidat khalifah atas dukungan Bani Qais. Selain itu ada kandidat lainnya yaitu, Marwan bin
Haqam (dukungan Bani Qalb) dan dua kabilah Arab berdomisili di Suriah,
juga saling bersaing mengajukan calon masing-masing. Akan tetapi, Ibnu
Zubair terpojok tatkala peta kekuatan politik mengalami perubahan,
akibat pemberontakan di Kufa dan pembelontan di antara pengikutnya,
setelah Yazid wafat. Pengepungan membawa kematiannya terjadi ketika
Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi ditugaskan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan, putra Marwan bin Hakam, untuk menyelesaikan perlawanan “Sang Penantang Enam Khalifah” – dari Ali, Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah, Marwan bin Hakam, sampai Abdul Malik.
Tidak
kurang dari tujuh bulan diperlukan untuk menghujani kota suci Mekah dan
Ka’bah dengan bombardir pasukan al-Hajjaj untuk melumpuhkan perlawanan
Ibnu Zubair. Ia masih bertahan tatkala putra-putranya menyerahkan diri
kepada al-Hajjaj. Keperkasaannya bangkit kembali setelah berjumpa
sebentar dengan ibunya yang sudah buta, yang mendorongnya dengan
memberikan semangat juang. Padahal sebelumnya, ia sempat menyatakan
kepada ibunya rasa khawatir, bahwa mayatnya akan diperlakukan secara
sadis oleh para pembunuhnya kelak. Ibunya mengatakan bahwa kambing yang
sudah disembelih tak sedikit pun akan merasakan sayatan-sayatan pada
dagingnya. Jawaban ini mendorongnya keluar dari rumah tempat ia bertahan
, maju ke tengah-tengah lawannya yang kemudian menyergap dan
menghabisinya. Mayatnya ditempatkan pada
tiang gantung yang sama di mana saudaranya, Amr, pernah mengalami hal
serupa. Atas perintah Abdul Malik, mayatnya kemudian diserahkan kepada
ibunya. Tak lama berselang, setelah menguburkan mayat putranya itu, ia
pun wafat pada tahun 94 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar