Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)"

Jumat, 23 Maret 2012

Aku dan Presiden SBY

Oleh : Ustadz Abu Adib

Aku adalah segelintir hamba Allah yang ditaqdirkan hidup di bumi Indonesia. Sedangkan SBY adalah presiden dan pemimpinku. Dan yang aku ketahui beliau adalah seorang muslim, dan aku belum pernah melihat beliau melakukan tindakan kekufuran yang nyata. Kewajibanku, sebagai anak bangsa adalah selalu mentaati perintahnya selama perintah itu tidak melanggar syari’at Tuhanku.
Allah Yang Maha Mulia berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan taatilah ulil amri diantara kalian”. (QS. An-Nisa’ : 59)
Ayat ini adalah sangat jelas bahwasanya Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya serta mentaati Ulil Amri.
Diterangkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, bahwa makna ulil amri adalah ‘Ulama dan ‘Umara (pemerintah). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlaq. Sedangkan ketaatan kepada pemerintah adalah ketaatan yang tidak mutlaq. Artinya, selama perintahnya itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kita wajib mentaatinya.
Nabi kita juga telah bersabda dalam hadits dari Irbath bin Sariyah  :

وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Dengar dan taatilah! Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Sebagai seorang muslim, mestinya berbaik sangka kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak mungkin Allah dan Rasul-Nya memerintahkan hamba-Nya agar hamba-Nya itu celaka. Itu sangat tidak mungkin. Karena hal itu bertentangan dengan sifat Rahmat Allah dan juga bertentangan dengan sifat Rasul-Nya yang sangat menginginkan kebaikan kepada umatnya.
Tapi para pembaca yang budiman, aku sangat sedih. Era reformasi telah merubah wajah umat Islam di negeriku ini. Sehingga era reformasi diartikulasikan sebagai kebebasan dalam berfikir, kebebasan dalam berpendapat tanpa ada batasnya. Yang mestinya itu tidak boleh terjadi pada insan yang beradab.
Mimbar-mimbar jum’at yang semestinya dijadikan sarana untuk menasehati umat, menyeru kaum muslimin agar selalu beriman dan bertaqwa kepada Allah, telah berubah menjadi ajang untuk menguliti dan menelanjangi aib-aib penguasa. Juga sumpah serapah, caci makian dan kata-kata kotor lainnya tanpa ada rasa adab santun sedikitpun. Wallahi! Perbuatan semacam ini, tidak ada manfaatnya sedikitpun, baik bagi para penguasa ataupun rakyatnya. Justru yang akan terjadi adalah semakin dendamlah penguasa kepada rakyatnya. Dan rakyat akan semakin benci dan murka kepada pemerintahnya. Ya Allah, ampunilah kami.
Saudara-saudaraku seaqidah yang saya hormati. Kita tidak memungkiri banyak terjadi kesalahan dan kekurangan pada para penguasa. Akan tetapi, bukan berarti kita boleh untuk keluar dari ketaatan dalam perkara yang ma’ruf (baik).
Nabi kita Muhammad  telah bersabda :

إِسْمَعْ وَأَطِعْ وَإِنْ أُخِذَ مَالَكَ وَضَرَبَ ظَهْرُكَ
“Dengar dan taatlah sekalipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul”. (HR. Muslim)
Hadits ini memberikan pengertian kalaupun sampai terjadi penguasa itu merampas harta kita dan memukul punggung kita, maka kita tetap wajib mentaati dalam perkara yang ma’ruf. Sedangkan hak-hak kita yang dirampas oleh penguasa maka kita minta kepada Allah balasannya. Jadi, penguasa itu wajib di taati dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Nabi  bersabda :

مَنْ أَطَاعَ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَا الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ
“Barang siapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang durhaka kepada penguasa berarti dia telah durhaka kepadaku”. (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi b juga bersabda :

مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ
“Barang siapa taat kepadaku, berarti dia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah durhaka kepada Allah, dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang durhaka kepada pemimpin berarti dia telah durhaka kepadaku”. (HR. Bukhari-Muslim)
Dengan demikian, menjadi jelaslah, bahwa kesalahan penguasa itu bukan berarti kita membolehkan kita kudeta dan keluar dari ketaatan. Dari Auf  bin Malik  dia berkata bahwa Rasulullah  bersabda :

أَلاَ مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآَهُ يَأْتِيْ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَالْيَكْرَهُ الَّذِيْ يَأْتِيْ مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلاَ يَنْزِعَنْ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Ketahuilah! Bahwa barang siapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihat penguasa tersebut melakukan perbuatan maksiat, maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak melepaskan ketaatan kepadanya”. (HR. Muslim)
Para pembaca yang budiman, mungkin masih ada yang belum puas dengan hadits-hadits di atas sebagai hujjah untuk taat kepada penguasa walaupun ada kedhaliman pada penguasa tersebut.
Baiklah, sekarang bandingkan. Lebih dhalim mana antara penguasa kita SBY dengan Hajjaj bin Yusuf. Barang kali, semua telah tahu bagaimana kejam dan kedhalimannya. Sekian banyak kaum muslimin bahkan para ‘ulama yang mati ditangan Hajjaj ini. Sampai-sampai seorang tabi’in yang bernama Zubair bin ‘Adi beliau mendatangi Anas bin Malik  –sisa shahabat yang masih hidup pada masa itu-. Zubair bin ‘Adi mengeluhkan kejamnya penguasa Hajjaj bin Yusuf. Maka Anas berkata kepadanya :

إِصْبِرُوْا فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِيْ عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا وَالَّذِيْ بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقُوْا رَبَّكُمْ سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bersabarlah kalian. Karena sesungguhnya tidaklah datang kepada kalian suatu zaman melainkan setelahnya lebih buruk dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabbmu (meninggal dunia). Aku telah mendengarnya dari Nabi kalian “. (HR. Bukhari)
Lihatlah perkataan shahabat yang mulia ini. Dengan kedalaman dan keluasan ilmunya, Anas  tidak gegabah dalam menentukan suatu keputusan hukum. Karena beliau memiliki pandangan jauh ke depan. Serta pengetahuan beliau terhadap realita yang dialami umat manusia. Kalau seandainya Anas  memerintahkan kepada Zubair bin ‘Adi untuk memberontak, mungkin akan terjadi kerusakan yang lebih besar dan korbannya akan semakin banyak berjatuhan.
Sekarang, bandingkan dengan Presiden SBY. Pernahkah harta kita diambil olehnya? Pernahkah punggung kita dipukul olehnya? Pernahkah beliau membantai kaum muslimin? Pernahkah beliau membunuh para ‘ulama? Kalau seandainya kita jawab belum pernah. Maka alasan apa yang menghalangi kita untuk taat kepadanya?
Pembaca yang budiman, demikianlah. Semoga risalah ini bermanfaat.
Rujukan        : Riyadhush Shalihin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar