Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)"

Selasa, 08 Mei 2012

Pengisi Kesunyian Hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Dalam kesendirian dan kehampaan hati terenggutnya kekasih tercinta, dia hadir membawa nuansa bagi manusia yang paling mulia, dengan keceriaan jiwa yang dimilikinya. Kebesaran jiwanya membuat dirinya senantiasa di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dialah Saudah bintu Zam’ah….
Tersebut satu nama mulia yang tak kan lepas dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengisi kekosongan jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha. Dia Ummul Mukminin Saudah bintu Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin ‘Amir bin Lu’ai bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al ‘Amiriyyah yang memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibunya adalah Asy Syamus bintu Qais bin Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najjar.
Bersama suaminya, As Sakran bin ‘Amr Al ‘Amiry, Saudah bintu Zam’ah menyongsong cahaya keimanan yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun dengan itu, ia harus menanggung derita dan siksaan dari orang-orang musyrikin yang hendak mengembalikan mereka ke dalam kesesatan dan kesyirikan. Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat, berhijrahlah Saudah dan suaminya dalam barisan delapan orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka meninggalkan negerinya, mengarungi dahsyatnya gelombang lautan, rela menempuh penderitaan untuk menyelamatkan agama mereka, hingga sampailah mereka di bumi Habasyah. Namun tak berapa lama muhajirin Habasyah ini balik kembali ke negeri mereka.
Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekkah, As Sakran bin ‘Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir ujian yang dirasa karena keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah bintu Zam’ah harus kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah merasakan kesedihan dengan hilangnya wanita yang dicintainya, yang beriman kepada beliau saat manusia mengingkarinya, yang menopang dengan hartanya saat manusia enggan memberinya dan yang darinya beliau mendapatkan buah hati. Kesedihan yang teramat dalam, hingga tak seorang pun dari kalangan sahabat beliau yang berani menyinggung masalah pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang shahabiyah, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pertanyaannya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”
Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya, “Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?” Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Siapa yang gadis?” Jawab Khaulah, “Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, “Siapa yang janda?” Khaulah menjawab, “Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.”
Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.
Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikah dengannya. Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan ‘Aisyah bintu Abi Bakr Ash Shiddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al ‘Amiry, salah seorang sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.
Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama tiga tahun lebih hingga tiba saat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyusulnya hadir dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Saudah bintu Zam’ah bersama keluarga Rasulullah yang lain masih tinggal di Mekkah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di Madinah, barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhuma untuk menjemput Saudah dan putri-putri beliau. Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Mekkah untuk membawa Saudah bintu Zam’ah beserta putri-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid menjemput istrinya, Ummu Aiman, dan putranya Usamah bin Zaid ke bumi hijrah, Madinah.
Hari terus bergulir, usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya semata-mata karena rasa iba beliau dengan keadaannya setelah suaminya tiada. Semakin jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikannya dengan cara yang sebaik-baiknya agar tidak melukai hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan keinginannya ini kepadanya. Maka di hadapan beliau, dengan dada yang sesak, Saudah bintu Zam’ah berbisik lirih, “Tahanlah aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak lagi memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu.”
Wanita mulia yang mengharapkan kemuliaan. Dia utamakan keridhaan suaminya yang mulia, hingga dia berikan pula hari gilirannya untuk ‘Aisyah, istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau pun menerimanya.
Peristiwa ini menyisakan sesuatu yang teramat berarti. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat 128 dari Surat An Nisaa’:
“Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik”.
Tinggallah Saudah di dalam rumah yang dipenuhi cahaya kenabian dengan keadaan tenang, ridha dan penuh rasa syukur kepada Rabbnya yang telah membimbingnya sehingga di dunia ini dia tetap berada di samping hamba Allah yang paling mulia, sebagai ibu bagi kaum mukminin, dan sebagai istri beliau kelak di dalam surga.
Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan, sampai tiba saatnya dia menghadap Rabbnya ‘azza wa jalla pada akhir masa pemerintahan Umar ibnul Khatthab radhiallahu ‘anhu di Madinah An Nabawiyyah.
Jejaknya masih terasa, sejarahnya masih terbaca. Saudah bintu Zam’ah, semoga Allah meridlainya…
Sumber bacaan :
1. Ats Tsiqaat, Ibnu Hibban
2. Al Isti`aab, Ibnu Abdil Bar
3. Al Ishaabah fi Tamyizis Shahabah, Ibnu Hajar Al Atsqalani
4. Siyar A`lamun Nubala, Adz Dzahabi
5. Tahdzibul Kamaal, Al Mizzi
6. Syarah Shahih Muslim, An Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar