Dalam kesendirian dan kehampaan hati terenggutnya
kekasih tercinta, dia hadir membawa nuansa bagi manusia yang paling
mulia, dengan keceriaan jiwa yang dimilikinya. Kebesaran jiwanya membuat
dirinya senantiasa di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dialah Saudah bintu Zam’ah….
Tersebut satu nama mulia yang tak kan lepas dari kehidupan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, mengisi kekosongan jiwa beliau setelah
wafatnya Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha. Dia Ummul Mukminin
Saudah bintu Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr
bin Malik bin Hasl bin ‘Amir bin Lu’ai bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al
‘Amiriyyah yang memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibunya adalah Asy Syamus
bintu Qais bin Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam
bin ‘Adi bin An Najjar.
Bersama suaminya, As Sakran bin ‘Amr Al ‘Amiry, Saudah bintu Zam’ah
menyongsong cahaya keimanan yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Walaupun dengan itu, ia harus menanggung derita dan siksaan
dari orang-orang musyrikin yang hendak mengembalikan mereka ke dalam
kesesatan dan kesyirikan. Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat,
berhijrahlah Saudah dan suaminya dalam barisan delapan orang sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka meninggalkan negerinya,
mengarungi dahsyatnya gelombang lautan, rela menempuh penderitaan untuk
menyelamatkan agama mereka, hingga sampailah mereka di bumi Habasyah.
Namun tak berapa lama muhajirin Habasyah ini balik kembali ke negeri
mereka.
Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekkah, As Sakran bin ‘Amr
meninggal dunia. Baru saja berakhir ujian yang dirasa karena
keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah bintu
Zam’ah harus kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.
Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah
merasakan kesedihan dengan hilangnya wanita yang dicintainya, yang
beriman kepada beliau saat manusia mengingkarinya, yang menopang dengan
hartanya saat manusia enggan memberinya dan yang darinya beliau
mendapatkan buah hati. Kesedihan yang teramat dalam, hingga tak seorang
pun dari kalangan sahabat beliau yang berani menyinggung masalah
pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang shahabiyah, Khaulah bintu
Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan pertanyaannya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi,
wahai Rasulullah?”
Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya,
“Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?” Khaulah pun menjawab, “Kalau
engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki,
ada pula yang janda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
lagi, “Siapa yang gadis?” Jawab Khaulah, “Putri orang yang paling engkau
cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sesaat, kemudian
bertanya lagi, “Siapa yang janda?” Khaulah menjawab, “Saudah bintu
Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.”
Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang
rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hati beliau
tersentuh dengan penderitaan wanita muhajirah ini. Beliau ingin membawa
Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya.
Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak
mendapatkan perlindungan.
Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikah dengannya. Di masa
itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan ‘Aisyah bintu Abi Bakr
Ash Shiddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al ‘Amiry, salah
seorang sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan
juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.
Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selama tiga tahun lebih hingga tiba saat ‘Aisyah radhiallahu
‘anha menyusulnya hadir dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam di Madinah.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah,
Saudah bintu Zam’ah bersama keluarga Rasulullah yang lain masih tinggal
di Mekkah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di
Madinah, barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zaid
bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhuma untuk menjemput Saudah
dan putri-putri beliau. Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus
dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli
tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Mekkah untuk
membawa Saudah bintu Zam’ah beserta putri-putri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid
menjemput istrinya, Ummu Aiman, dan putranya Usamah bin Zaid ke bumi
hijrah, Madinah.
Hari terus bergulir, usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya semata-mata karena
rasa iba beliau dengan keadaannya setelah suaminya tiada. Semakin
jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikannya dengan cara
yang sebaik-baiknya agar tidak melukai hatinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyampaikan keinginannya ini kepadanya. Maka di
hadapan beliau, dengan dada yang sesak, Saudah bintu Zam’ah berbisik
lirih, “Tahanlah aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak lagi
memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak
di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu.”
Wanita mulia yang mengharapkan kemuliaan. Dia utamakan keridhaan
suaminya yang mulia, hingga dia berikan pula hari gilirannya untuk
‘Aisyah, istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan beliau pun menerimanya.
Peristiwa ini menyisakan sesuatu yang teramat berarti. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat 128 dari Surat An Nisaa’:
“Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik”.
“Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik”.
Tinggallah Saudah di dalam rumah yang dipenuhi cahaya kenabian dengan
keadaan tenang, ridha dan penuh rasa syukur kepada Rabbnya yang telah
membimbingnya sehingga di dunia ini dia tetap berada di samping hamba
Allah yang paling mulia, sebagai ibu bagi kaum mukminin, dan sebagai
istri beliau kelak di dalam surga.
Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan, sampai tiba saatnya dia
menghadap Rabbnya ‘azza wa jalla pada akhir masa pemerintahan Umar ibnul
Khatthab radhiallahu ‘anhu di Madinah An Nabawiyyah.
Jejaknya masih terasa, sejarahnya masih terbaca. Saudah bintu Zam’ah, semoga Allah meridlainya…
Sumber bacaan :
1. Ats Tsiqaat, Ibnu Hibban
2. Al Isti`aab, Ibnu Abdil Bar
3. Al Ishaabah fi Tamyizis Shahabah, Ibnu Hajar Al Atsqalani
4. Siyar A`lamun Nubala, Adz Dzahabi
5. Tahdzibul Kamaal, Al Mizzi
6. Syarah Shahih Muslim, An Nawawi
1. Ats Tsiqaat, Ibnu Hibban
2. Al Isti`aab, Ibnu Abdil Bar
3. Al Ishaabah fi Tamyizis Shahabah, Ibnu Hajar Al Atsqalani
4. Siyar A`lamun Nubala, Adz Dzahabi
5. Tahdzibul Kamaal, Al Mizzi
6. Syarah Shahih Muslim, An Nawawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar