Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
Yang dimaksud ‘orang lain’ dalam judul di atas, sebenarnya
bukanlah benar-benar orang lain atau pihak asing yang tak ada
hubungannya dengan pasangan suami istri. Mereka justru masih ada
hubungan erat dengan si suami atau si istri, karena mereka adalah pihak
kerabat dekat, dalam hal ini orang tua dan saudara-saudara suami atau
istri. Namun, kita pinjam istilah ‘orang lain’ dengan maksud
mengecualikan mereka dari keluarga baru yang dibentuk oleh sepasang
suami-istri.
Tentu saja
keberadaan mereka, pihak keluarga suami dan istri, tak dapat
dimungkiri. Sebagaimana mereka ada dalam kehidupan seorang lelaki
sebelum ia bertemu dengan seorang wanita untuk kemudian menjalin ikatan
pernikahan dengannya dan dalam kehidupan seorang wanita sebelum ia
bertemu dengan pasangan hidupnya, tentunya setelah itu mereka tetap ada.
Namun bagaimanakah interaksi dengan mereka setelah itu? Kita sering
mendapatkan keluhan munculnya permasalahan antara suami dengan
keluarganya atau dengan keluarga istrinya. Sebaliknya, timbul problem
antara istri dengan pihak keluarganya atau dengan keluarga suaminya.
Islam sebagai agama yang mengajarkan seluruh kebaikan tentu telah
memberikan tuntunan yang terindah dan paling sempurna. Islam
memerintahkan insan yang beriman untuk tetap menyambung hubungan
silaturahim dengan orang tua dan karib kerabat serta berbuat baik kepada
mereka. Allah berfirman:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya
kalian.” (An-Nisa: 36)
Allah juga memuji hamba-hamba-Nya yang menyambung hubungan rahimnya, seperti dalam firman-Nya yang agung:
“Dan orang-orang yang menyambung/menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan…” (Ar-Ra’d: 21)
Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang mulia:
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk hingga ketika selesai dari
menciptakan mereka, berdiri Ar-Rahim seraya berkata, “Ini tempat berdiri
orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus hubungan.” Allah
berfirman, “Iya, tidakkah engkau ridha Aku menyambung orang yang
menyambungmu dan Aku memutus orang yang memutusmu?” Ar-Rahim menjawab,
“Tentu (aku ridha).” Allah l berfirman, “Maka itulah untukmu.” Kemudian
Rasulullah n bersabda, “Bacalah bila kalian mau, ayat: ‘Maka apakah
kiranya bila kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi
dan memutuskan hubungan rahim/kekeluargaan kalian?…’.” (Muhammad: 22-23)
[HR. Al-Bukhari no. 4830 dan Muslim no. 6465 dari sahabat Abu Hurairah]
Dalam riwayat Al-Bukhari:
فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ, وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ
Allah berfirman, “Siapa yang menyambungmu, Aku akan menyambungnya. Siapa yang memutusmu, Aku akan memutusmu.”
Dalam hadits yang mulia ini, terdapat ancaman terhadap orang yang
memutus hubungan rahimnya. Jubair bin Muth’im mengabarkan bahwa
Rasulullah bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan rahimnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 6468)
Selain hukuman di akhirat, pelakunya pun akan beroleh hukuman di dunia sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Abu Bakrah berkata: Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ
فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يُدَخِّرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ
وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada satu dosa
pun yang lebih pantas untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di
dunia bersamaan dengan hukuman yang menantinya di akhirat daripada dosa
memutus hubungan rahim dan dosa kezaliman.” (HR. Abu Dawud no. 4902 dan
At-Tirmidzi no. 2511, disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih
At-Tirmidzi)
Dalam Fathul Bari (10/513—514) disebutkan, Al-Qurthubi menyatakan
bahwa rahim yang disambung itu bermakna umum dan khusus. Makna secara
umum adalah hubungan rahim karena agama, wajib disambung dengan rasa
cinta, saling menasihati, bersikap adil, dan inshaf, serta menunaikan
hak-hak yang wajib maupun mustahab. Adapun makna rahim yang khusus
adalah memberi nafkah kepada kerabat, mencari tahu keadaan/kabar mereka
dan memaafkan kesalahan mereka. Ibnu Abi Jamrah mengatakan,
“Silaturahim bisa dilakukan dengan memberikan materi (harta), memberikan
bantuan ketika dibutuhkan, menghindarkan dari kemudaratan, berwajah
manis, dan mendoakan.” Adapun makna yang mencakup/menyeluruh (makna
jami’) dari silaturahim adalah menyampaikan kebaikan sebisa mungkin dan
menghindarkan kejelekan yang mungkin menimpa sesuai dengan kemampuan.
Dengan demikian, sepasang suami-istri harus berupaya untuk tetap
menyambung hubungan dengan orang tua, saudara-saudara, dan sanak famili
mereka yang lain. Mereka pun harus berupaya menyambung hubungan dengan
orang tua, saudara-saudara, dan sanak famili pasangan mereka; suami
dengan kerabat istrinya, dan istri dengan kerabat suaminya.
Bagaimana bentuk menyambung silaturahim? Ini kembali kepada ‘urf
(kebiasaan) yang diikuti oleh masyarakat muslim yang terjaga (‘urf
islami), karena memang macam silaturahim, jenis dan kadarnya tidak
diterangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi tidak mengaitkannya
dengan sesuatu yang tertentu, misalnya dengan menetapkan silaturahim
itu adalah karib kerabat tersebut harus makan bersama, minum bersama,
atau tinggal bersama. Bahkan, beliau n menetapkan secara mutlak (bebas).
Oleh karena itulah, masalah ini kembali kepada ‘urf. Apa yang
berlangsung dalam ‘urf sebagai menyambung hubungan, berarti itu adalah
menyambung silaturahmi). Apa yang dikenali manusia sebagai
qathi’ah/memutus hubungan, itu adalah pemutusan hubungan. Demikian
asalnya, menurut Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, dengan ketentuan
‘urf tersebut belum rusak karena ‘urf yang rusak tidak bisa menjadi
patokan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/131—132)
Kaitannya dengan tetap menyambung hubungan dengan keluarga bagi pasangan
yang telah menikah, ada beberapa permasalahan yang mungkin timbul.
1. Apakah orang tua berhak meminta putrinya tetap tinggal bersama mereka setelah ia menikah?
Apakah seorang istri harus mematuhi permintaan orang tuanya untuk tetap
tinggal bersama keluarga besarnya dan tidak tinggal di rumah yang
disediakan suaminya?
Tentu saja tidak. Bahkan, dia wajib tinggal di rumah suaminya, karena
konsekuensi dari akad nikah adalah menyerahkan istri kepada suaminya di
rumah suaminya. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi kedua orang tuanya
untuk menahannya di rumah mereka, sebagaimana si istri tidak bisa
memaksa suaminya tinggal bersamanya di rumah orang tuanya. Demikian
keterangan Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh.
(Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/193)
Bagaimana bila hal tersebut menjadi persyaratan dalam pernikahan, yang
sebelum akad nikah berlangsung sang ayah mempersyaratkan kepada calon
suami putrinya agar membiarkan putrinya tetap tinggal bersamanya untuk
mengurusi/berkhidmat kepadanya?
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh menjelaskan bahwa
syarat-syarat dalam pernikahan hanya khusus untuk pihak suami dan pihak
istri. Adapun syarat yang diajukan oleh ayah si istri sebagaimana di
atas merupakan syarat yang tidak ada nilainya, sehingga sama sekali
tidak harus dipenuhi. Tidak ada hak bagi sang ayah menghalangi si suami
dari istrinya selama keadaan keduanya baik-baik saja dan si istri
ridha/senang kepada suaminya. (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh
Muhammad bin Ibrahim, 10/196)
2. Apakah istri harus menuruti suaminya untuk tinggal serumah bersama keluarga suaminya?
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t berkata,
“Sepantasnya, seorang istri bersikap lunak dan merasa terbiasa/tidak
canggung berada bersama keluarga suaminya, baik ibu, ayah,
saudara-saudara, maupun karib kerabatnya.
Hendaklah ia hidup bersama mereka dengan kehidupan yang terpuji, karena
hal itu termasuk kebahagiaannya dan kebahagiaan suaminya. Hendaklah ia
bersabar dan mengharapkan pahala atas beberapa hal yang tidak ia sukai.
Apabila ia tidak mendapati hal-hal tersebut, ia wajib berpegang dengan
kesabaran dan tidak mempersulit kehidupan suaminya bersama keluarganya.
Bisa jadi, bila terjadi pertentangan dan kesalahpahaman berulang-ulang
akan menyebabkan suami menceraikannya, hingga terurailah ikatan/tali
pernikahan, padahal ada anak-anak. Lalu, bagaimana keadaan mereka
setelah perpisahan kedua orang tua mereka? Tanpa diragukan, anak-anak
itu keadaannya tidaklah berbahagia menghadapi perpisahan ayah dan ibu
mereka.
Karena itulah, hendaknya seorang istri mengintrospeksi dirinya dan
kembali kepada kelurusannya. Saya menasihatkan kepadanya agar memaksa
jiwanya untuk ta’awun (saling membantu) bersama suaminya dalam
menghadapi kehidupan. (Fatawa Manarul Islam, 3/109)
3. Bolehkah seorang istri meminta kepada suaminya untuk ditempatkan di rumah sendiri, tidak serumah dengan keluarganya?
Bila sebelumnya sepasang suami istri tinggal bersama keluarga si suami,
namun di belakang hari terjadi permasalahan antara si istri dan keluarga
suaminya, bolehkah si istri meminta suaminya pindah dari rumah tersebut
dan mencari rumah lain untuk mereka tempati?
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Permasalahan seperti ini
banyak terjadi di antara keluarga suami dengan si istri. Dalam keadaan
ini, yang sepantasnya dilakukan adalah si suami berusaha menyelesaikan
persoalan yang terjadi antara istrinya dengan keluarganya. Semampu
mungkin ia berupaya mendekatkan mereka dan memberikan peringatan kepada
pihak yang zalim dan melampaui batas terhadap hak saudaranya. Peringatan
diberikan dengan cara yang baik dan lembut, hingga tercapailah
kedekatan dan penyatuan, karena kedekatan dan penyatuan seluruhnya
merupakan kebaikan.
Bila tidak terwujud ishlah/perbaikan yang diharapkan, tidak ada masalah
bila si suami mencari rumah yang terpisah dari keluarganya. Bahkan,
terkadang hal ini lebih baik dan lebih bermanfaat bagi semua pihak,
sehingga hilang apa yang ada di hati sebagian mereka terhadap sebagian
yang lain. Dalam keadaan seperti ini (tinggal di rumah terpisah),
hendaknya ia tidak memutus perhubungan dengan keluarganya. Bahkan, ia
harus tetap menyambung hubungan dengan mereka. Lebih baik lagi bila
rumah yang ditempatinya berdua dengan istrinya itu dekat dengan rumah
keluarganya, sehingga mudah baginya menjenguk mereka dan menyambung
hubungan dengan mereka.
Bila ia telah menunaikan kewajibannya terhadap keluarganya dan terhadap
istrinya, bersamaan dengan ia tinggal bersama istrinya di tempat tinggal
tersendiri—karena tidak memungkinkan bagi semuanya tinggal bersama
dalam sebuah rumah—hal ini lebih baik dan lebih utama.” (Fatawa
Islamiyah, 3/114)
4. Berkhidmat kepada keluarga suami
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Seorang istri tidak wajib
berkhidmat kepada ibu, ayah, saudara-saudara, paman-paman suaminya, atau
berkhidmat kepada salah seorang dari kerabat suaminya. Hanya saja, hal
ini termasuk muru’ah/penjagaan kehormatan diri. Bila ia di dalam rumah
melayani kedua orang tua suaminya atau saudara-saudara lelaki suaminya,
itu dibolehkan asalkan tidak terjadi fitnah (godaan) sedikitpun dalam
khidmatnya kepada saudara-saudara lelaki suaminya, atau tidak terjadi
khalwat (berduaan/bersepi-sepi) misalnya. Akan tetapi tidak boleh
mewajibkan si wanita untuk melakukannya. Suaminya tidak boleh
mengharuskan istrinya melakukan hal tersebut dan hal itu tidak wajib
baginya. Masalahnya hanya berkaitan dengan muru’ah.
Namun yang saya serukan, kata Syaikh, hendaklah seorang istri itu
membiasakan dirinya dan bersikap sangat penyabar dalam berkhidmat kepada
ayah dan ibu suaminya. Masalah ini tidaklah memudaratkannya, bahkan
menambah kemuliaannya dan menambah cinta suaminya terhadapnya. Demikian
pula cinta ayah dan ibu suaminya terhadap dirinya. Sebaliknya, bila si
istri durhaka dan enggan mengurusi orang tua suaminya, terkadang menjadi
sebab memburuknya pergaulannya dengan suaminya. Mungkin karena si suami
tidak suka melihat jeleknya pergaulannya dengan kedua orang tuanya,
atau bisa jadi kedua orang tuanya menjelekkan si istri di hadapan
suaminya, hingga mereka membuat si suami benci kepada istrinya.” (Fatawa
Manarul Islam, 3/108)
5. Berkhidmat kepada ayah suami yang sudah tua
Seorang istri pernah mengajukan pertanyaan berikut ini kepada
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, “Saya seorang istri yang menunaikan
khidmat/memberikan pelayanan dan pengurusan kepada ayah suami/mertua
saya berhubung ia tidak memiliki siapa-siapa kecuali suami saya. Apakah
saya boleh memandikan dan mengurusinya?”
Fadhilatusy Syaikh menjawab, “Khidmat yang Anda berikan kepada ayah
suami Anda ini merupakan perkara yang patut disyukuri, karena hal
tersebut termasuk berbuat ihsan/kebaikan kepada lelaki yang telah tua
tersebut, juga termasuk berbuat ihsan kepada suami Anda. Anda boleh
memandikannya selain pada dua kemaluannya (qubul dan dubur). Kalau
mertua Anda bisa membasuhnya sendiri, hendaklah ia lakukan sendiri. Anda
tidak boleh melakukannya. Akan tetapi kalau ia tidak mampu
melakukannya, tidak ada dosa/keberatan bagi Anda untuk memandikan bagian
auratnya tersebut dengan syarat Anda menggunakan kaos tangan yang
menutupi kedua tangan Anda sehingga engkau tidak menyentuh auratnya
secara langsung, sebagaimana wajib bagi Anda menundukkan pandangan Anda
dari melihat auratnya, karena Anda tidak diperkenankan melihat aurat
seorang pun kecuali suami Anda. Demikian pula suami Anda terhadap Anda.”
(Majmu’ Fatawa, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/177)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Ini menunjukkan bahwa ar-rahim bisa berbicara secara hakiki dengan izin Allah l. Dia bisa ridha dan bisa marah. Ia juga bisa meminta perlindungan kepada Allah l dari pemutusan hubungan. (Syarhu Shahih al-Adabil Mufrad, 1/67)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar