Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)"

Senin, 19 Maret 2012

Orang Lain dalam Kehidupan Kami

Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah

Yang dimaksud ‘orang lain’ dalam judul di atas, sebenarnya bukanlah benar-benar orang lain atau pihak asing yang tak ada hubungannya dengan pasangan suami istri. Mereka justru masih ada hubungan erat dengan si suami atau si istri, karena mereka adalah pihak kerabat dekat, dalam hal ini orang tua dan saudara-saudara suami atau istri. Namun, kita pinjam istilah ‘orang lain’ dengan maksud mengecualikan mereka dari keluarga baru yang dibentuk oleh sepasang suami-istri.

Tentu saja
keberadaan mereka, pihak keluarga suami dan istri, tak dapat dimungkiri. Sebagaimana mereka ada dalam kehidupan seorang lelaki sebelum ia bertemu dengan seorang wanita untuk kemudian menjalin ikatan pernikahan dengannya dan dalam kehidupan seorang wanita sebelum ia bertemu dengan pasangan hidupnya, tentunya setelah itu mereka tetap ada. Namun bagaimanakah interaksi dengan mereka setelah itu? Kita sering mendapatkan keluhan munculnya permasalahan antara suami dengan keluarganya atau dengan keluarga istrinya. Sebaliknya, timbul problem antara istri dengan pihak keluarganya atau dengan keluarga suaminya.
Islam sebagai agama yang mengajarkan seluruh kebaikan tentu telah memberikan tuntunan yang terindah dan paling sempurna. Islam memerintahkan insan yang beriman untuk tetap menyambung hubungan silaturahim dengan orang tua dan karib kerabat serta berbuat baik kepada mereka. Allah berfirman:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya kalian.” (An-Nisa: 36)

Allah juga memuji hamba-hamba-Nya yang menyambung hubungan rahimnya, seperti dalam firman-Nya yang agung:
“Dan orang-orang yang menyambung/menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan…” (Ar-Ra’d: 21)
Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang mulia:
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk hingga ketika selesai dari menciptakan mereka, berdiri Ar-Rahim seraya berkata, “Ini tempat berdiri orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus hubungan.” Allah berfirman, “Iya, tidakkah engkau ridha Aku menyambung orang yang menyambungmu dan Aku memutus orang yang memutusmu?” Ar-Rahim menjawab, “Tentu (aku ridha).” Allah l berfirman, “Maka itulah untukmu.” Kemudian Rasulullah n bersabda, “Bacalah bila kalian mau, ayat: ‘Maka apakah kiranya bila kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan rahim/kekeluargaan kalian?…’.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari no. 4830 dan Muslim no. 6465 dari sahabat Abu Hurairah]
Dalam riwayat Al-Bukhari:
فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ, وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ
Allah berfirman, “Siapa yang menyambungmu, Aku akan menyambungnya. Siapa yang memutusmu, Aku akan memutusmu.”
Dalam hadits yang mulia ini, terdapat ancaman terhadap orang yang memutus hubungan rahimnya. Jubair bin Muth’im mengabarkan bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan rahimnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 6468)
Selain hukuman di akhirat, pelakunya pun akan beroleh hukuman di dunia sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Abu Bakrah berkata: Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يُدَخِّرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada satu dosa pun yang lebih pantas untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang menantinya di akhirat daripada dosa memutus hubungan rahim dan dosa kezaliman.” (HR. Abu Dawud no. 4902 dan At-Tirmidzi no. 2511, disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)

Dalam Fathul Bari (10/513—514) disebutkan, Al-Qurthubi menyatakan bahwa rahim yang disambung itu bermakna umum dan khusus. Makna secara umum adalah hubungan rahim karena agama, wajib disambung dengan rasa cinta, saling menasihati, bersikap adil, dan inshaf, serta menunaikan hak-hak yang wajib maupun mustahab. Adapun makna rahim yang khusus adalah memberi nafkah kepada kerabat, mencari tahu keadaan/kabar mereka dan memaafkan kesalahan mereka. Ibnu Abi Jamrah mengatakan, “Silaturahim bisa dilakukan dengan memberikan materi (harta), memberikan bantuan ketika dibutuhkan, menghindarkan dari kemudaratan, berwajah manis, dan mendoakan.” Adapun makna yang mencakup/menyeluruh (makna jami’) dari silaturahim adalah menyampaikan kebaikan sebisa mungkin dan menghindarkan kejelekan yang mungkin menimpa sesuai dengan kemampuan.
Dengan demikian, sepasang suami-istri harus berupaya untuk tetap menyambung hubungan dengan orang tua, saudara-saudara, dan sanak famili mereka yang lain. Mereka pun harus berupaya menyambung hubungan dengan orang tua, saudara-saudara, dan sanak famili pasangan mereka; suami dengan kerabat istrinya, dan istri dengan kerabat suaminya.

Bagaimana bentuk menyambung silaturahim? Ini kembali kepada ‘urf (kebiasaan) yang diikuti oleh masyarakat muslim yang terjaga (‘urf islami), karena memang macam silaturahim, jenis dan kadarnya tidak diterangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi tidak mengaitkannya dengan sesuatu yang tertentu, misalnya dengan menetapkan silaturahim itu adalah karib kerabat tersebut harus makan bersama, minum bersama, atau tinggal bersama. Bahkan, beliau n menetapkan secara mutlak (bebas). Oleh karena itulah, masalah ini kembali kepada ‘urf. Apa yang berlangsung dalam ‘urf sebagai menyambung hubungan, berarti itu adalah menyambung silaturahmi). Apa yang dikenali manusia sebagai qathi’ah/memutus hubungan, itu adalah pemutusan hubungan. Demikian asalnya, menurut Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, dengan ketentuan ‘urf tersebut belum rusak karena ‘urf yang rusak tidak bisa menjadi patokan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/131—132)
Kaitannya dengan tetap menyambung hubungan dengan keluarga bagi pasangan yang telah menikah, ada beberapa permasalahan yang mungkin timbul.

1. Apakah orang tua berhak meminta putrinya tetap tinggal bersama mereka setelah ia menikah?
Apakah seorang istri harus mematuhi permintaan orang tuanya untuk tetap tinggal bersama keluarga besarnya dan tidak tinggal di rumah yang disediakan suaminya?
Tentu saja tidak. Bahkan, dia wajib tinggal di rumah suaminya, karena konsekuensi dari akad nikah adalah menyerahkan istri kepada suaminya di rumah suaminya. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi kedua orang tuanya untuk menahannya di rumah mereka, sebagaimana si istri tidak bisa memaksa suaminya tinggal bersamanya di rumah orang tuanya. Demikian keterangan Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh. (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/193)
Bagaimana bila hal tersebut menjadi persyaratan dalam pernikahan, yang sebelum akad nikah berlangsung sang ayah mempersyaratkan kepada calon suami putrinya agar membiarkan putrinya tetap tinggal bersamanya untuk mengurusi/berkhidmat kepadanya?
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh menjelaskan bahwa syarat-syarat dalam pernikahan hanya khusus untuk pihak suami dan pihak istri. Adapun syarat yang diajukan oleh ayah si istri sebagaimana di atas merupakan syarat yang tidak ada nilainya, sehingga sama sekali tidak harus dipenuhi. Tidak ada hak bagi sang ayah menghalangi si suami dari istrinya selama keadaan keduanya baik-baik saja dan si istri ridha/senang kepada suaminya. (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/196)

2. Apakah istri harus menuruti suaminya untuk tinggal serumah bersama keluarga suaminya?
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t berkata, “Sepantasnya, seorang istri bersikap lunak dan merasa terbiasa/tidak canggung berada bersama keluarga suaminya, baik ibu, ayah, saudara-saudara, maupun karib kerabatnya.
Hendaklah ia hidup bersama mereka dengan kehidupan yang terpuji, karena hal itu termasuk kebahagiaannya dan kebahagiaan suaminya. Hendaklah ia bersabar dan mengharapkan pahala atas beberapa hal yang tidak ia sukai. Apabila ia tidak mendapati hal-hal tersebut, ia wajib berpegang dengan kesabaran dan tidak mempersulit kehidupan suaminya bersama keluarganya. Bisa jadi, bila terjadi pertentangan dan kesalahpahaman berulang-ulang akan menyebabkan suami menceraikannya, hingga terurailah ikatan/tali pernikahan, padahal ada anak-anak. Lalu, bagaimana keadaan mereka setelah perpisahan kedua orang tua mereka? Tanpa diragukan, anak-anak itu keadaannya tidaklah berbahagia menghadapi perpisahan ayah dan ibu mereka.
Karena itulah, hendaknya seorang istri mengintrospeksi dirinya dan kembali kepada kelurusannya. Saya menasihatkan kepadanya agar memaksa jiwanya untuk ta’awun (saling membantu) bersama suaminya dalam menghadapi kehidupan. (Fatawa Manarul Islam, 3/109)

3. Bolehkah seorang istri meminta kepada suaminya untuk ditempatkan di rumah sendiri, tidak serumah dengan keluarganya?
Bila sebelumnya sepasang suami istri tinggal bersama keluarga si suami, namun di belakang hari terjadi permasalahan antara si istri dan keluarga suaminya, bolehkah si istri meminta suaminya pindah dari rumah tersebut dan mencari rumah lain untuk mereka tempati?
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Permasalahan seperti ini banyak terjadi di antara keluarga suami dengan si istri. Dalam keadaan ini, yang sepantasnya dilakukan adalah si suami berusaha menyelesaikan persoalan yang terjadi antara istrinya dengan keluarganya. Semampu mungkin ia berupaya mendekatkan mereka dan memberikan peringatan kepada pihak yang zalim dan melampaui batas terhadap hak saudaranya. Peringatan diberikan dengan cara yang baik dan lembut, hingga tercapailah kedekatan dan penyatuan, karena kedekatan dan penyatuan seluruhnya merupakan kebaikan.
Bila tidak terwujud ishlah/perbaikan yang diharapkan, tidak ada masalah bila si suami mencari rumah yang terpisah dari keluarganya. Bahkan, terkadang hal ini lebih baik dan lebih bermanfaat bagi semua pihak, sehingga hilang apa yang ada di hati sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Dalam keadaan seperti ini (tinggal di rumah terpisah), hendaknya ia tidak memutus perhubungan dengan keluarganya. Bahkan, ia harus tetap menyambung hubungan dengan mereka. Lebih baik lagi bila rumah yang ditempatinya berdua dengan istrinya itu dekat dengan rumah keluarganya, sehingga mudah baginya menjenguk mereka dan menyambung hubungan dengan mereka.
Bila ia telah menunaikan kewajibannya terhadap keluarganya dan terhadap istrinya, bersamaan dengan ia tinggal bersama istrinya di tempat tinggal tersendiri—karena tidak memungkinkan bagi semuanya tinggal bersama dalam sebuah rumah—hal ini lebih baik dan lebih utama.” (Fatawa Islamiyah, 3/114)

4. Berkhidmat kepada keluarga suami
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Seorang istri tidak wajib berkhidmat kepada ibu, ayah, saudara-saudara, paman-paman suaminya, atau berkhidmat kepada salah seorang dari kerabat suaminya. Hanya saja, hal ini termasuk muru’ah/penjagaan kehormatan diri. Bila ia di dalam rumah melayani kedua orang tua suaminya atau saudara-saudara lelaki suaminya, itu dibolehkan asalkan tidak terjadi fitnah (godaan) sedikitpun dalam khidmatnya kepada saudara-saudara lelaki suaminya, atau tidak terjadi khalwat (berduaan/bersepi-sepi) misalnya. Akan tetapi tidak boleh mewajibkan si wanita untuk melakukannya. Suaminya tidak boleh mengharuskan istrinya melakukan hal tersebut dan hal itu tidak wajib baginya. Masalahnya hanya berkaitan dengan muru’ah.
Namun yang saya serukan, kata Syaikh, hendaklah seorang istri itu membiasakan dirinya dan bersikap sangat penyabar dalam berkhidmat kepada ayah dan ibu suaminya. Masalah ini tidaklah memudaratkannya, bahkan menambah kemuliaannya dan menambah cinta suaminya terhadapnya. Demikian pula cinta ayah dan ibu suaminya terhadap dirinya. Sebaliknya, bila si istri durhaka dan enggan mengurusi orang tua suaminya, terkadang menjadi sebab memburuknya pergaulannya dengan suaminya. Mungkin karena si suami tidak suka melihat jeleknya pergaulannya dengan kedua orang tuanya, atau bisa jadi kedua orang tuanya menjelekkan si istri di hadapan suaminya, hingga mereka membuat si suami benci kepada istrinya.” (Fatawa Manarul Islam, 3/108)
5. Berkhidmat kepada ayah suami yang sudah tua
Seorang istri pernah mengajukan pertanyaan berikut ini kepada Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, “Saya seorang istri yang menunaikan khidmat/memberikan pelayanan dan pengurusan kepada ayah suami/mertua saya berhubung ia tidak memiliki siapa-siapa kecuali suami saya. Apakah saya boleh memandikan dan mengurusinya?”
Fadhilatusy Syaikh menjawab, “Khidmat yang Anda berikan kepada ayah suami Anda ini merupakan perkara yang patut disyukuri, karena hal tersebut termasuk berbuat ihsan/kebaikan kepada lelaki yang telah tua tersebut, juga termasuk berbuat ihsan kepada suami Anda. Anda boleh memandikannya selain pada dua kemaluannya (qubul dan dubur). Kalau mertua Anda bisa membasuhnya sendiri, hendaklah ia lakukan sendiri. Anda tidak boleh melakukannya. Akan tetapi kalau ia tidak mampu melakukannya, tidak ada dosa/keberatan bagi Anda untuk memandikan bagian auratnya tersebut dengan syarat Anda menggunakan kaos tangan yang menutupi kedua tangan Anda sehingga engkau tidak menyentuh auratnya secara langsung, sebagaimana wajib bagi Anda menundukkan pandangan Anda dari melihat auratnya, karena Anda tidak diperkenankan melihat aurat seorang pun kecuali suami Anda. Demikian pula suami Anda terhadap Anda.” (Majmu’ Fatawa, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/177)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Ini menunjukkan bahwa ar-rahim bisa berbicara secara hakiki dengan izin Allah l. Dia bisa ridha dan bisa marah. Ia juga bisa meminta perlindungan kepada Allah l dari pemutusan hubungan. (Syarhu Shahih al-Adabil Mufrad, 1/67)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar