Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)"

Rabu, 02 Mei 2012

Maksud Hadits 'Wanita Kurang Akal dan Agama'



Kita sering mendengar hadits:
النِّسَاءُ نَاقِصَاتُ عَقلٍ وَدِينٍ
“Wanita itu kurang akal dan agamanya.”
Sehingga dengan itu ada sebagian lelaki menjadikannya sebagai cercaan terhadap wanita. Sebenarnya ada makna hadits tersebut?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah ibnu Baz t menjawab, “Makna hadits Rasulullah n:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغلَبُ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا نُقْصَانُ عَقْلِهَا؟ قاَلَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَتَيْنِ بِشَهَادَةِ رَجُلٍ؟ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا نُقصَانُ دِينِهَا؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan akal lelaki yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum wanita).” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksudnya kurang akalnya wanita?” Beliau menjawab, “Bukankah persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki?” Ditanyakan lagi, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?” jawab beliau.
Rasulullah n menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi lemahnya ingatan/hapalannya. Persaksiannya baru diterima bila disertai persaksian wanita yang lainnya, guna memperkuat/mengokohkan persaksian yang ada. Karena bila si wanita bersendirian dalam memberikan persaksian terkadang ia lupa sehingga ia menambah ataupun mengurangi dalam persaksian tersebut. Sebagaimana Allah l berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari kaum lelaki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika salah seorang dari wanita itu lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya.”(Al-Baqarah: 282)
Adapun kurangnya agama si wanita karena saat ia haid dan nifas, ia harus meninggalkan shalat dan puasa, tanpa tuntutan mengqadha shalat yang ditinggalkan. Ini sisi kurangnya agamanya. Akan tetapi kekurangan ini bukan celaan baginya dan ia tidak berdosa karenanya. Karena kekurangan tersebut didapatkannya dengan ketentuan syariat Allah k. Allah k lah yang mensyariatkan hal tersebut kepada kaum wanita sebagai kasih sayang/kelembutan terhadapnya dan kemudahan baginya. Karena bila si wanita puasa dalam keadaan ia haid atau nifas, niscaya akan memadaratkannya. Maka termasuk rahmat Allah, Dia mensyariatkan kepada wanita untuk tidak berpuasa saat haid dan nifas. Sebagai gantinya, ia mengqadha di waktu yang lain setelah suci.
Untuk shalat yang harus ditinggalkannya saat haid dan nifas, karena ketika dalam keadaan haid si wanita mendapati pada dirinya sesuatu yang mencegahnya dari thaharah/bersuci[1]. Maka termasuk rahmat Allah k, Dia mensyariatkan si wanita untuk meninggalkan shalat. Demikian pula saat nifas. Kemudian Allah mensyariatkan shalat yang ditinggalkan tersebut tidak diqadha, karena kalau ada qadha niscaya akan memberikan keberatan yang besar. Di mana pengerjaan shalat fardhu akan berulang dalam sehari semalam sebanyak lima kali. Sedangkan haid terkadang waktunya lama/beberapa hari, bisa 7 hari atau 8 hari atau bahkan lebih. Nifas lebih lama lagi, kadang sampai 40 hari. Maka termasuk rahmat Allah kepada si wanita dan kebaikan Allah kepadanya, Dia gugurkan penunaian shalat baginya dan gugur pula qadha shalat tersebut.
Yang perlu diingat, tidak mesti wanita itu kurang akalnya dalam segala hal. Demikian pula tidak mesti agamanya kurang dalam segala hal. Rasulullah n hanya menerangkan kurangnya akal wanita dari sisi kurangnya ingatannya dalam memberikan persaksian. Dalam hal kurangnya agama, Rasulullah n hanya menyebutkan dari sisi ia meninggalkan shalat dan puasa di saat haid dan nifas. Sehingga kekurangan tersebut tidak mesti menjadikan si wanita berada di bawah lelaki (kurang dari lelaki) dalam segala hal dan tidak mesti lelaki lebih utama dari si wanita dalam segala hal. Memang dari sisi jenis, secara umum kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita karena sebab yang banyak. Sebagaimana Allah l berfirman:
“Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa’: 34)
Akan tetapi terkadang wanita melampaui lelaki pada beberapa keadaan, dalam banyak perkara. Ada wanita yang akal, agama dan kekokohan hapalannya melebihi banyak lelaki[2]. Yang datang beritanya dari Nabi n hanyalah penyataan bahwa jenis wanita berada di bawah jenis lelaki dalam hal akal dan agama dari dua sisi yang telah diterangkan oleh Nabi n.
Terkadang ada wanita yang memiliki banyak amal shalih sehingga ia melampui banyak lelaki dalam amal shalihnya tersebut dan dalam ketakwaannya kepada Allah k. Demikian pula dalam hal kedudukannya di akhirat kelak. Terkadang ada wanita yang memiliki perhatian terhadap sebagian perkara lalu ia menghapal/mengingatnya dengan kuat, lebih kuat dari ingatan/hapalan sebagian lelaki dalam banyak permasalahan yang diperhatikan si wanita dan ia bersungguh-sungguh dalam menghapal dan mengingatnya. Jadilah si wanita sebagai rujukan dalam sejarah Islam dan dalam banyak hal. Hal ini tampak jelas bagi orang yang memperhatikan keadaan para wanita di masa Nabi n dan setelahnya. Dengan demikian, diketahuilah bahwa kekurangan yang ada tidaklah menjadi penghalang untuk menjadikan wanita sebagai sandaran dalam periwayatan. Demikian pula dalam persaksian bila ia disertai dengan wanita lainnya. Kekurangan tersebut tidak pula menghalangi si wanita untuk bertakwa kepada Allah dan menjadi sebaik-baik hamba Allah, bila ia tetap istiqamah dalam agamanya. Walaupun gugur darinya kewajiban puasa saat haid dan nifas, namun tidak gugur kewajiban mengqadha. Sekalipun gugur darinya kewajiban penunaian shalat saat haid dan nifas berikut qadhanya. Semua ini tidaklah mengharuskan si wanita dianggap kurang dalam segala hal, dari sisi ketakwaannya kepada Allah, dari sisi penunaiannya terhadap perintah Allah dan dari sisi ingatannya terhadap perkara yang mendapatkan perhatiannya. Ia kurang, khusus dalam akal dan agama sebagaimana yang diterangkan Nabi n.
Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang mukmin melemparkan tuduhan bahwa si wanita punya kekurangan dalam segala hal dan lemah agamanya dalam segala perkara. Lemahnya dia dalam agama hanya dalam perkara khusus. Lemahnya dia dalam hal akal juga hanya sebatas perkara yang berkaitan dengan ingatan saat memberi persaksian dan semisalnya. Maka permasalahan ini harus dijelaskan dan ucapan Nabi n harus dibawa kepada maknanya yang paling baik dan paling bagus[3]Wallahu ta’ala a’lam. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/292-294)

[1] Dengan terus keluarnya darah yang najis dari kemaluannya. –pent.
[2] Contohnya Ummul Mukminin Aisyah, semoga Allah meridhainya. –pent.
[3] Jangan dimaknakan semaunya, tak sesuai dengan yang dimaksudkan Nabi n. –pent.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar