PRAKATA
Nama
bagi manusia merupakan perhiasan dan syi’ar, yang mana seseorang akan
dipanggil dengannya di dunia dan akhirat. Nama merupakan penunjuk
sesuatu, yang orang sangat merasakan manfaat dengannya. Karena demikian
penting, selayaknya seseorang memahami penamaan dirinya atau
anak–anaknya dengan nama Islami, terkhusus bahasa Al-Qur’an (‘Arab).
Adalah
merupakan kebanggaan bagi kaum muslimin ketika dia membuka kumpulan
biografi para ulama salaf maupun kalangan orang mulia dia dapati
nama-nama Islami bertebaran. Abdullah, Muhammad, Abdurrahman, Aisyah,
dan semisalnya. Nama-nama yang lekat dengan ekstensi Islam itu sendiri.
Adapun
nama-nama Ajam (non ‘Arab) yang biasa digunakan kaum kuffar seperti
John, Agustin, Yulia, Gandhi, Laura dan semisalnya tertolak dari
keutamaan segi bahasa maupun syar’inya. Nama-nama Ajam itu menyelinap
deras di kalangan awam dan merusak kecintaan kaum muslimin menamai
anak-anaknya dengan bahasa Al-Qur’an.
Bila
sebuah buku sering dinilai karena judulnya, manusia dikenal karena
namanya. Lalu bagaimana kita bisa mudah membedakan orang muslim dengan
orang kafir jika kaum muslimin bangga berhias dengan nama kaum kuffar?
Kita tentu tidak berharap pendengaran kita sakit karena mendengar
tetangga kita yang muslim menamai anaknya yang laki dengan Alex dan
yang wanita dengan Laura (misalnya). Jadilah panggilan itu sebagai
perhiasan yang menyedihkan di dunia dan akhirat bagi orang yang mau
jujur dan memikirkan.
DEFINISI NAMA
Ditinjau dari segi bahasa:
- Nama adalah petunjuk sesuatu yang mana sesuatu itu bisa dikenal.
- Nama adalah kata yang menunjukkan makna dari kata itu sendiri dan tak bisa dikaitkan dengan waktu (lihat Mu’jamul Wasith 1/452)
- Nama adalah petunjuk dari sesuatu dan dengannya bisa diketahui karakteristiknya (Mu’jam Alfadhil Qur’an hal 250)
Al-Qur’an menyebut nama person tertentu dalam konteks cerita atau perintah dalam berbagai tempat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَىٰ لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai
Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan
(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum
pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.”(QS. Maryam: 7)
Maka
hakikat nama bagi seorang insan adalah sebagai penunjuk karakter dan
pembeda. Oleh karena itu jika seorang anak misalnya tak memiliki nama
maka ia tak bisa dikenal dan tak bisa dibedakan.
HUKUM MEMBERI NAMA
Disebut oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab Maratib Al Ijma’, bahwa para ulama sepakat tentang wajibnya memberi nama pada setiap anak; lelaki atau wanita.
WAKTU PEMBERIAN NAMA
Disunnahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran, dengan dalil:
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua
bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan kambing di hari ketujuh
dari kelahirannya, dinamai pada hari itu,d an dicukur rambutnya.” (HR Tirmidzi 1552,lihat pula Irwaul Ghalil juz 4 no.1169)
Diperbolehkan menamai anak sebelum hari ketujuh.
Dalilnya adalah:
Dari Abu Musa al Asy’ari radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Telah
lahir seorang anakku lalu aku membawanya menuju Nabi Shalallahu alaihi
wassalam maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan kurma, dan
mendoakan barokah padanya. Setelah itu dikembalikan padaku.” (HR Bukhari 5467)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari:
“Bagi
siapa yang tidak melaksanakan aqiqah, hendaknya tidak mengakhirkan
pemberian nama hingga hari ketujuh sebagaimana dalam kisah Ibrahim bin
Abi Musa dan Abdullah bin Abi Tholhah, begitu juga Ibrahim anak Nabi
Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Zubair. Tidak ada riwayat
bahwa salah satu dari mereka diaqiqahi”
Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah:
“Adapun
perkara ini adalah perselisihan di kalangan ulama dan masuk dalam
khilaf tanawwu’ yang diperbolehkan yang menunjukkan pula tentang
keluasan perkara ini, walhamdulillah.” (Tasmiyatul Maulud hal 28)
Memberi nama adalah hak Ayah
Adalah
dalil yang diambil dari ucapan ana dalam sub bahasan ini adalah
perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Terdapat riwayat yang
menunjukkan para sahabat membawa anaknya ke Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam untuk dinamai. Maka inilah dasarnya, seorang ayah mempunyai
hak terhadap nama anaknya. Terserah sang ayah, apakah ia menamai
anaknya sendiri atau dia bawa ke seorang alim untuk dinamai.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Disenangi bagi orangtua menyerahkan seorang anak kepada orang shalih untuk dinamai dengan nama yang disenangi bagi anaknya.” (Al Minhaj juz 14 hal 124)
NASAB ANAK
Anak dinasabkan dengan nama ayahnya bukan dengan nama ibunya.
Dalilnya:
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا
آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5).
Maka ini menunjukkan kesalahan penamaan dengan penyandaran pada ibunya, sebagaimana ada terjadi di sebagian Nusantara ini.
Sumber : Al Akh Abu Mas'u
Tidak ada komentar:
Posting Komentar