Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)"

Minggu, 29 April 2012

Syair Aqidah Muslim


Berikut adalah sya’ir yang dibuat oleh Asy-Syaikh Mula ‘Imran -rahimahullaah- ulama pada abad ke-13 hijriyyah yang saya nukilkan dari kitab Manhaj Al-Firqotun Najiyah Wa Ath-Thoifah Al-Mansuroh karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -rahimahullaah-

إن كان تابعُ أحمدٍ متوهّبا
فأنا المقِرُّ بأنني وهَّابي

Jika pengikut Ahmad (Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah Wahhabi
Maka ku akui bahwa diriku adalah Wahhabi[1]

أنفي الشريك عن الإله فليسَ لي
ربٌّ سوى المتفردِ و الوهاب

Kutiadakan sekutu bagi Ilah, maka tidak ada (sesembahan) bagiku
Kecuali Rabb Yang Maha Esa lagi Maha Pemberi

لا قبة تــُرجى و لا وثنٌ و لا
قبرٌ له سببٌ من الأسباب

Tak ada kubah yang bisa diharap, tidak pula berhala
dan tidaklah kuburan menjadi sebab di antara penyebab

كلا و لا حجر و لا شجر و لا
عين و لا نــُــصُـبٌ من الأنصاب

Tidak! Sekali-kali tidak. Tidak pula batu, pohon
Tidak pula mata air[2] dan patung-patung

أيضا و لستُ مُعلقا لتميمة
أو حلقة أو وَدعة أو ناب

Juga, aku tidak mengalungkan jimat
Gelang, rumah kerang atau taring

لِرجاء نفع أو لدفع بليّةٍ
الله ينفعني و يدفع ما بي

Untuk mengharapkan manfaat atau pun menolak bala
Allah-lah yang memberiku manfaat dan menghilangkan bala’ bagiku

و الابتداع و كل أمر مُحدثٍ
في الدين ينكره أولوا الألباب

Adapun bid’ah dan segala perkara yang diada-adakan
di dalam agama, diingkari oleh orang-orang yang berakal

أرجو بأني لا أقاربُه و لا
أرضاه دينا و هو غير صواب

Aku berharap, semoga diriku tak akan mendekatinya
Tidak pula rela dijadikan sebagai agama, itu tidaklah benar

وأعود من جهمية عنها عتتْ
بخلاف كل مؤَوِّل مُرتاب

Dan aku berlindung dari Jahmiyyah[3] yang membangkang
Aku mencela perselisihan setiap ahli takwil lagi ragu

و الاستواء فإن حسبي قدوة
فيها مَقال السادة الأنجاب

Dan (makna) Istiwa’[4] maka cukuplah bagi tauladan
dari ucapan para tokoh yang mulia

الشافعي و مالك و أبي حنيـفـَة
و ابن حنبل التقي الأواب

Asy-Syafi’i, Malik, Abu Hanifah
dan Ibn Hanbal yang bertakwa lagi terhormat

و بعصرنا من جاء معتقدا به
صاحوا عليه مُجَسّم وهّابي

Adapun di zaman kita, bagi siapa saja yang berkeyakinan seperti mereka
Seraya berteriak kepadanya[5]: Mujassim[6] Wahhabi[7]

جاء الحديث بغربة الإسلام فـَـلـْ
يـَـبْكِ المحب لِغربة الأحباب

Telah datang hadits tentang keterasingan Islam
Hendaknya pecinta kebenaran menangis karena terasing dari orang yang dicintai

فالله يحمينا و يحفظ ديننا
مِن شـَرّ كل مُعاندٍ سَبَّاب

Allah-lah yang melindungi kita dan menjaga agama kita
Dari kejahatan dari setiap pembangkang dan pencela

و يُؤَيِّد الدين الحنيف بعصبة
مُتمسكين بسنة و كتاب

Dia menguatkan agamaNya yang lurus dengan perantaraan
sekelompok orang yang berpegang teguh dengan Sunnah dan KitabNya

لا يأخذون برأيهم و قياسهم
و لهم إلى الوحْيَين خير مآب

Tidak mendahulukan akal dan qiyas mereka
Bagi mereka, kedua wahyu adalah sebaik-baik pedoman

قد أخبر المختار عنهم أنهم
غـُرباءُ بين الأهل و الأصحاب

Sang (Nabi) terpilih telah mengabarkan kepada mereka
Bahwa mereka adalah orang yang terasing di tengah keluarga dan kawan-kawannya

سلكوا طريق السالكين إلى الهُدى
و مشوا على مِنهاجهم بصواب

Mereka menapaki jalan para pencari hidayah
dan meneladani prinsip mereka dengan benar

من أجل ذا أهلُ الغــُـلـُوِّ تـنافروا
عنهم فقلنا ليس ذا بعُجاب

Karena itulah orang-orang yang ghuluw memusuhi mereka
Maka kita katakan, bahwa hal itu tidaklah aneh

نَفَرَ الَّذِيْنَ دَعَاهُمْ خَيْرُ اْلوَرَى
إِذْ لَقَّبُوْهُ بِسَاحِرٍ كَذَّابِ

Telah lari pula orang-orang yang diseru oleh sebaik-baik manusia
Bahkan menjulukinya sebagai tukang sihir lagi pendusta

مـع عِلمِهـم بـأمـانةٍ وديـانةٍ
فِيْهِ وَمَكْرَمَةٍ، وَصِدْقِ جَوَابِ

Padahal mereka mengetahui tentang ketinggian amanah dan agamanya
Kemuliaannya dan kejujurannya dalam menepati

صلـى عليهِ اللهُ مـا هـبَّ الصبا
وعـلى جميـع الآل والأصحـابِ

Semoga keberkahan atasnya selama angin masih berhembus
Demikian juga atas segenap keluarga dan sahabatnya


Catatan Kaki :

[1] Musuh-musuh tauhid memberi gelar Wahhabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah) nisbat kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Al-Masyarif At-Tamimi Al-Hanbali An-Najdi rahimahullah (mujaddid Islam terbesar abad ke 12 Hijriyah). Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada Muhammad. Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama Wahhabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Asma’ul Husna.
[2] Mata air tempat yang dimaksudkan untuk mencari berkah atau mendapat kesembuhan. Hal yang merupakan perbuatan syirik, karena berdo’a dan memohon sesuatu kepada selain Allah.
[3] Jahmiyyah adalah kelompok sesat yang mengingkari bahwa Allah berada di langit, dan berpendapat bahwa Allah itu di mana-mana, di setiap tempat. Berkata Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Lum’atil I’tiqod: Jahmiyyah, disandarkan kepada Al-Jahm bin Shafwan yang dibunuh oleh Saalim atau Salim bin Ahwaz pada tahun 121 H.  Madzab/metode mereka dalam permasalahan sifat Allah adalah menghilangkan dan meniadakannya. Dalam masalah takdir mereka berpendapat dengan pendapat Jabbariyyah (makhluk tidak memiliki kehendak dan pilihan dalam beramal, seperti kapas yang diterpa angin). Sedangkan dalam masalah keimanan mereka berpendapat dengan Murji’ah yaitu iman hanyalah sebatas pengakuan (ikrar) dalam hati, amalan dan perkataan tidak termasuk dalam kerangka iman. Pelaku dosa besar menurut mereka adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Dengan demikian mereka adalah Mu’aththilah (pengingkar sifat-sifat dan nama Allah), Jabriyyah, Murji’ah. Sekte ini terbagi menjadi sekian kelompok.
[4] Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan istiwa’ di dalam Al-Qur’an di tujuh tempat:

اللَّـهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A’raf: 54)

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّـهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Yunus: 3)

اللَّـهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Ar-Ra’d: 2)

الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5)

الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-Furqon: 59)

اللَّـهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. As-Sajdah: 4)

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-Hadiid: 4)
Istiwa’ dalam bahasa Arab yaitu “Tinggi, di Atas”. Hanya saja ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala  di atas ‘Arsy-Nya tidak sama dengan makhlukNya; Tidak seperti seorang raja di atas singgasananya dan tidak pula seperti seseorang di atas kendaraannya. Ahlus Sunnah wal  Jama’ah menyatakan bahwa tingginya Allah di atas ‘ArsyNya sesuai dengan kemuliaanNya. Dan kita tidak mempermasalahkan bagaimana dan seperti apa istiwa’nya Allah di atas ‘ArsyNya. Karena kita meyakini bahwa Dzat Allah tidak sama dengan makhlukNya, maka kita tidak mungkin menerangkan bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Apalagi tidak ada satu sumberpun dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan tentang kaifiyahnya.
Seperti kisah masyhur yang terjadi pada Imam Malik Rahimahullah sebagaimana dinukil oleh imam ash-Shabuni dalam kitabnya Aqidatus Salaf Wa Ashhabul Hadits. Imam Malik ketika didatangi oleh seseorang di majelisnya, kemudian orang tersebut bertanya: “Ar-Rahman ‘alal ‘Arsy istawa’, bagaimana istiwa’-Nya?”. Beliau Rahimahullah tertunduk dan marah. Dan tidaklah beliau pernah marah seperti marahnya ketika mendengarkan pertanyaan tersebut. Beliau pun meneteskan butiran-butiran keringat dari dahinya; sementara para hadirin pun terdiam dan tertunduk, semuanya menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang akan dikatakan oleh Imam Malik. Beberapa saat kemudian beliau Rahimahullah pun tersadar dan mengangkat kepalanya, seraya berkata: “Tentang bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa’ sudah diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang kaifiyah) adalah bid’ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat.” Maka orang itu pun diperintahkan untuk diusir dari majelisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)
Dan para ulama ahlus sunnah pun tidak ada yang berselisih tentang istiwa’nya Allah di atas ‘ArsyNya, dan ‘ArsyNya di atas langit. Mereka menetapkan hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan; mengimani, membenarkan Allah Azza wa Jalla dalam berita-berita yang telah disampaikanNya dan mengucapkan sesuai dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ucapkan tentang istiwa’Nya di atas ‘ArsyNya. Mereka melangsungkannya atas dzhahir (ayat-ayat)nya dan menyerahkan tentang kaifiyahnya kepada Allah. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal.44)
Untuk artikel tentang Istiwa’ silakan lihat artikel saya yang terdahulu: http://rizkytulus.wordpress.com/2010/10/24/allah-maha-tinggi-di-atas-%e2%80%98arsy/
[5] Yaitu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
[6] Mujassim adalah orang yang memvisualisasikan sifat-sifat Allah
[7] Bagaimana mungkin Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah seorang Wahhabi ??? Sedangkan beliau hidup jauh ratusan tahun (wafat tahun 241 H) sebelum lahirnya Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (lahir tahun 1115 H, wafat tahun 1206 H)
Referensi:
- Al-Qur’anul Karim
- Ahlusunnah Mengimani bahwa Allah Ta’ala Di Atas Arsy-Nya, Ustadz Muhammad bin ‘Umar As-Sewwed
- Biografi Ahlul Hadits, http://ahlulhadist.wordpress.com
- Manhaj Al-Firqotun Najiyah Wa Ath-Thoifah Al-Mansuroh, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah
- Biografi Syaikh Muhammad At Tamimi, http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=57
- Syarh Lum’atil I’tiqod, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Sumber : Abu Salman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar