(Disusun oleh Al Ustadz Abu Karimah Asykari bin Jamal Al Bugisy)
Bagi kalangan aktivis pergerakan Islam, nasyid menjadi alternatif
dari “cara bermusik”. Mereka berkukuh bahwa selama tidak mengandung
hal-hal yang dilarang dalam syariat, hal itu diperbolehkan bahkan bisa
menjadi sarana “dakwah”. Mereka seakan lupa, nasyid mereka hampir tak
ada bedanya dengan lagu kecuali pada syair. Syairnya pun -meski kadang
berbahasa Arab- bahkan kerap mengandung kesyirikan dan kebid’ahan.
Belakangan, berkembang di kalangan muslimin satu jenis hiburan yang
dikenal dengan nasyid Islami. Nasyid ini dianggap sebagai alternatif
pengganti lagu dan musik yang didendangkan oleh para penyanyi umumnya.
Masing-masing dari kelompok nasyid tersebut menggunakan bermacam variasi
dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang disertai rebana saja, yang kadang
disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok.
Ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang
digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh. Bahkan ada
yang tidak berbeda antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan
nasyid Islami kecuali syairnya saja. Adapun irama, musik dan
lantunannya, tidak ada perbedaan.
Bila merunut sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum
muslimin cara berdakwah menggunakan sarana-sarana seperti ini, kecuali
dari kelompok Shufiyyah (Sufi) yang dikenal gemar membuat bid’ah dan
menganggap baik hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g. Sehingga sebagian
ulama menghukumi mereka dengan zindiq.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku meninggalkan Irak, dengan munculnya sesuatu yang disebut at-taghbir
yang dibuat oleh kaum zindiq. Mereka memalingkan manusia dari
Al-Qur`an.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal.
36, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Al-Albani berkata: “Sanadnya
shahih. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan
(1/229), bahwa penukilan dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah
mutawatir.” Lihat At-Tahrim hal. 163)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya tentangnya. Beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah.” Lalu beliau ditanya: “Bolehkah kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Hal itu (ucapan Al-Imam Ahmad
rahimahullahu) tidak mengherankan bagiku.” (Al-Inshaf, Al-Mardawi,
8/343)
At-Taghbir adalah bait-bait syair yang mengajak bersikap
zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang
hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau
bantal, disesuaikan dengan lantunan lagunya itu.
Dari sini, nampaklah bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid Islami
tidak lain adalah bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufiyah, lalu diberi polesan ‘Islami’ agar diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini.
Seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam,
musik Islami, pacaran Islami, demokrasi Islami, demonstrasi Islami, atau
embel-embel Islami yang lainnya. Namun, alhamdulillah, syariat yang
mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya
sekadar melihat namanya. Yang terpenting adalah hakikat dari apa yang
terkandung di balik nama tersebut.
Maka, sebagai nasihat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa
fatwa para ulama seputar hukum perkara yang disebut dengan nasyid Islami
ini.
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Syaikhul Islam ditanya tentang sekelompok orang yang bergabung untuk
melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian,
minum khamr, dan yang lainnya. Kemudian salah seorang di antara Syaikh
yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti As-Sunnah ingin mencegah
mereka dari hal tersebut. Namun tidak memungkinkan baginya melakukan hal
itu kecuali dengan cara membuat sebuah sama’ (nasyid) untuk mereka, di
mana mereka berkumpul padanya dengan niat ini. Sama’ ini menggunakan
rebana tanpa alat gemerincing, dan nyanyian seorang penyanyi dengan
syair-syair yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.
Tatkala dilakukan cara ini, di antara kelompok tersebut ada yang
bertaubat. Dan orang yang sebelumnya tidak shalat, suka mencuri dan
tidak berzakat, menjadi berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan
kewajiban, serta menjauhi perkara yang diharamkan. Maka apakah
dibolehkan nasyid yang dibuat Syaikh ini dengan cara tersebut, karena
memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi
mereka kecuali dengan cara ini.
Beliau rahimahullahu menjawab dengan panjang lebar. Di antara yang beliau katakan:
“Sesungguhnya Syaikh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak
melakukan berbagai dosa besar itu bertaubat. Namun tidak memungkinkan
baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan, berupa metode yang
bid’ah. Ini menunjukkan bahwa Syaikh tersebut jahil (tidak tahu) tentang
metode-metode syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat,
atau tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, mendakwahi orang yang lebih
buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir,
fasiq dan pelaku maksiat, dengan cara-cara yang syar’i. Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah berikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari
berbagai cara-cara bid’ah.
Tidak boleh dikatakan bahwa tidak ada cara syar’i yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala utus Nabi-Nya dengannya, yang dapat menjadikan para
pelaku maksiat bertaubat. Sebab telah diketahui secara pasti dan
penukilan yang mutawatir bahwa orang-orang, yang tidak ada yang mampu
menghitung jumlahnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah bertaubat
dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan. Tidak disebutkan padanya
berkumpul dengan cara bid’ah sebagaimana yang dilakukan. Bahkan,
orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang
mengikuti mereka dengan kebaikan –dan mereka adalah para wali Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang bertakwa dari kalangan umat ini– telah
bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara-cara yang
syar’i.” (Majmu’ Fatawa, 11/624-625)
Fatwa Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 181), setelah beliau menyebutkan hukum nyanyian dan musik, beliau berkata:
“Masih tersisa bagiku kalimat terakhir, yang dengannya aku menutup
risalah yang bermanfaat ini –insya Allah Subhanahu wa Ta’ala–. Yaitu
seputar apa yang mereka sebut dengan istilah nasyid Islami atau nasyid
agamis.
Maka aku mengatakan: Telah jelas pada pasal ketujuh tentang
syair-syair yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan.
Sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya seluruh alat
musik, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan, untuk para wanita. Dari pasal terakhir ini, kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan!
Karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian kaum Shufiyyah. Dan
pengingkaran mereka sangat keras terhadap orang-orang yang menganggapnya
halal. Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya
prinsip-prinsip yang kokoh ini, akan jelas baginya dengan
sejelas-jelasnya, bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara
nyanyian kaum Shufi dengan nasyid Islami.
Bahkan pada nasyid Islami terdapat hal negatif lainnya. Yaitu
terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan
nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu. Dan nasyid itu dibuat
dengan merujuk gaya musik ala timur ataupun ala barat, yang membuat
girang para pendengarnya, membuat mereka berjoget, serta membenamkan
alam sadar mereka. Sehingga, yang menjadi tujuan utamanya adalah
lantunan dan kegembiraan, bukan hanya sekadar nasyid. Ini adalah bentuk
penyelisihan baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan
orang-orang yang tidak punya rasa malu. Muncul pula anak penyimpangan
lainnya, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur`an dan meninggalkannya.
Sehingga mereka termasuk dalam keumuman sesuatu yang dikeluhkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kaumnya, sebagaimana yang
terdapat dalam firman-Nya:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini suatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di
Damaskus –dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Amman)– sebagian
pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat
(dari penyimpangan), dengan tujuan menyaingi nyanyian kaum Shufiyyah,
seperti qashidah Al-Bushiri dan yang lainnya. Nasyid tersebut terekam di
kaset.
Tidak berapa lama kemudian, nasyid tersebut sudah dibarengi pukulan
rebana! Mulanya, mereka menggunakannya pada acara-acara pesta
pernikahan, dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut
boleh. Kemudian kaset tersebut menyebar dan dikopi menjadi beberapa
kaset salinan. Tersebarlah penggunaannya di sekian banyak rumah.
Merekapun menyimaknya siang malam, baik dalam sebuah acara tertentu
ataupun tidak. Dan hal tersebut menjadi hiburan mereka!
Keadaan ini tidak terjadi melainkan karena hawa nafsu yang
mendominasi dan kebodohan terhadap tipu daya setan. Sehingga hal itu
memalingkan mereka dari perhatian terhadap Al-Qur`an dan mendengarnya,
apalagi mempelajarinya. Al-Qur`an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan,
sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya (3/317): “Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman mengabarkan tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia berkata:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al-Qur`an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لاَ تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar
Al-Qur`an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk
terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’.” (Fushshilat: 26)
Adalah jika dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, mereka gaduh dan
memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak
mendengarnya. Hal ini termasuk meninggalkannya. Tidak beriman dengannya
dan tidak membenarkannya termasuk mengabaikan Al-Qur`an. Tidak
mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya. Tidak beramal
dengannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangannya
termasuk mengabaikannya. Berpaling darinya menuju kepada selainnya
berupa syair, perkataan, nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah
ucapan atau satu metode yang diambil dari selainnya, termasuk
mengabaikannya. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Yang Maha
Pemberi Anugerah, Maha Kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar
menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa
yang diridhai-Nya berupa menghafal kitab-Nya dan memahaminya, serta
melaksanakan kandungannya, baik di malam maupun siang hari, dengan cara
yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mulia dan Maha
Pemberi.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 181-182)
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu
Beliau rahimahullahu ditanya: “Saya pernah mendengar sebagian nasyid
Islami dan di dalamnya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai
nyanyian. Tanpa musik, namun disertai suara yang indah. Bagaimanakah
hukumnya? Sebagai pengetahuan, ada sebagian ikhwan yang tidak senang
dengannya dan mengatakan bahwa hal itu termasuk amalan kaum Shufiyyah.
Aku berharap dari Syaikh yang mulia untuk memberi jawaban.”
Beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini, yang dinamakan
dengan nasyid Islami, di dalamnya terdapat sebagian perkara yang
terlarang. Di antaranya, nasyid tersebut dilantunkan seperti nyanyian
para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh.
Kemudian, nasyid itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu.
Bahkan terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan
yang semisalnya.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu tidak ada tepuk tangan
dan pukulan piring atau yang semisalnya, dan si penanya berkata bahwa
ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dengan suara yang
indah dan merdu. Maka, kami berpandangan agar nasyid seperti ini tidak
didengarkan, karena dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai lantunan
nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu.
Tentunya, yang lebih baik dari itu ialah mendengarkan
nasihat-nasihat yang bermanfaat, yang diambil dari Kitab Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
perkataan para sahabat dan para imam dari kalangan ahli ilmu dan agama.
Karena, di dalamnya sudah terdapat kecukupan dan kepuasan dari yang
lainnya.
Jika seseorang terbiasa tidak mengambil sesuatu sebagai
nasihat kecuali dengan cara tertentu, seperti lantunan nyanyian, hal itu
akan menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan
nasihat-nasihat yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa mengambil nasihat hanya dengan cara ini. Hal ini sangat berbahaya,
bahkan dapat menyebabkan seseorang bersikap zuhud (tidak butuh)
terhadap nasihat Al-Qur`an yang mulia dan Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta perkataan para ulama dan imam.” (diterjemahkan
dari kaset Nur ‘Alad Darb, kaset no. 258, bagian kedua)
Fatwa Al-’Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri
“Sesungguhnya, sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar
di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan
dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah dari Islam. Sebab, hal itu telah
dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan
(gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka
untuk bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan
Al-Qur`an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut
di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat
mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang
mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya,
dan menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan
mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari ilmu dan amalannya.”
(Iqamatud Dalil ‘Alal Man’i Minal Anasyid Al-Mulahhanah wat Tamtsil hal.
6, dari situs sahab.net)
“Barangsiapa mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan
lantunan nyanyian, dengan syair-syair para sahabat radhiyallahu ‘anhum
tatkala mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau
mengqiyaskan dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat
untuk memberi semangat kepada untanya di waktu safar, maka ini adalah
qiyas yang batil. Sebab para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah
bernyanyi dengan syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan
yang membuat girang, yang membangkitkan para pelantun nasyid dan
pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh sebagian pelajar di berbagai
acara dan tempat pada musim panas. Namun para sahabat g hanya
mencukupkan melantunkan syair-syair tersebut dengan mengangkat suara.
Tidak disebutkan bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan
satu suara, seperti yang dilakukan para pelajar di zaman kita.
Kebaikan yang hakiki adalah mengikuti apa yang telah ditinggalkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g.
Kejahatan yang sesungguhnya adalah dengan menyelisihi mereka, lalu
mengambil perkara-perkara baru yang bukan dari bimbingan mereka, serta
tidak dikenal pada zaman mereka.
Semua itu berasal dari bid’ah kaum Shufiyyah, yang menjadikan agama
mereka sebagai permainan serta hal yang melalaikan. Telah diriwayatkan
tentang bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan irama
secara berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam menjunjung Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkumpul untuk melakukan hal itu
dan menamakannya dengan dzikir, padahal pada hakikatnya merupakan
olok-olokan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dzikir-Nya. Dan
siapapun yang menjadikan kaum Shufi yang sesat sebagai pendahulu dan
panutan, maka itu adalah seburuk-buruk teladan yang telah mereka pilih
untuk diri-diri mereka.” (ibid, hal. 7-8)
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya, penamaan nasyid-nasyid yang
dilantunkan dengan nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya
perkara-perkara jelek dan berbahaya. Di antaranya:
1. Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan penyempurnanya.
Ini mengandung unsur penambahan terhadap syariat Islam, sekaligus
pernyataan bahwa syariat Islam belum sempurna di zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan
agama Islam bagi umat ini. Sehingga, pernyataan bahwa nasyid yang
berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan
terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari
ajaran Islam kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.
2. Menisbahkan kekurangan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya. Di mana beliau tidak
menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjamaah dengan lirik
lagu. Tidak pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada
mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.
3. Menisbahkan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya g bahwa mereka telah menelantarkan salah satu perkara Islam
dan tidak mengamalkannya.
4. Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai perkara Islam.
Telah disebutkan oleh Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Ibnul Majisyun, dia berkata: “Aku
mendengar Malik (bin Anas) berkata: ‘Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam
Islam dan ia menganggapnya baik, maka sungguh dia telah menganggap
bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah.
Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Maka, apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (ibid, hal. 11)
Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitabnya Al-Khuthab Al-Minbariyyah (3/184-185):
“Di antara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang banyak
beredar di antara para pemuda yang semangat menjalankan agama, berupa
kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjamaah,
yang mereka namakan nasyid Islami. Ini adalah salah satu jenis nyanyian.
Terkadang disertai suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual di
beberapa toko/studio bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`an Al-Karim
serta ceramah-ceramah agama.
Penamaan nasyid-nasyid ini dengan nasyid Islami adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita. Islam hanya mensyariatkan kepada kita berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, membaca Al-Qur`an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat.
Adapun nasyid-nasyid tersebut, hal itu berasal dari agama kelompok
bid’ah Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal
yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum
Nasrani, yang menjadikan bernyanyi secara berjamaah dan lantunan yang
membuat orang bergoyang sebagai agama mereka.
Tindakan yang wajib adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid
ini, dan melarang penjualan serta peredarannya, untuk mencegah akibat
buruk yang ditimbulkannya, berupa fitnah dan semangat yang tidak
terkontrol, serta mengadu domba di kalangan kaum muslimin.” (As`ilah ‘an Al-Manahij Al-Jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 20-21)
Perbedaan ‘Nasyid Islami’ dengan Dendangan Syair para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
- Mereka mendendangkan syair-syair mereka pada waktu tertentu,
seperti ketika safar (yang disebut dengan hida’), dengan tujuan mengusir
rasa kantuk. Atau tatkala melakukan satu pekerjaan yang cukup berat,
seperti membangun rumah, parit, dan yang semisalnya (yang disebut rajz).
Sedangkan nasyid Islami menjadi hiburan di setiap waktu, dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul dan tidak punya rasa malu. Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullahu berkata:
إِنِّي لَأَبْغَضُ الْغِنَاءَ وَأُحِبُّ الرَّجْزَ
“Sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyukai rajz.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 11/19743. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 279)
- Syair-syair yang mereka lantunkan tersebut diistilahkan dengan nasyid kaum Arab, bukan nasyid Islami.
- Tujuan mereka melantunkan bait-bait syair tersebut adalah untuk
meringankan beban yang sedang mereka alami, dari keletihan di waktu
safar atau bekerja keras. Sedangkan nasyid Islami dibuat dengan tujuan
sebagai ‘sarana dakwah’. Agar orang yang
mendengarnya menjadi sadar dari perbuatan maksiat yang dia lakukan,
sebagaimana fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu yang telah
lalu. Atau dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul.
- Lantunan syair mereka tidak mendorong untuk bergoyang dan
melenggak-lenggokkan badan, berbeda dengan yang disebut nasyid Islami.
- Lantunan syair-syair mereka tidak diiringi alat musik. Sedangkan
apa yang disebut nasyid Islami, mayoritasnya disertai dengan alat musik.
- Lantunan syair mereka tidak disertai dengan notasi (do-re-mi)
seperti halnya nyanyian. Berbeda dengan yang disebut nasyid Islami yang
menggunakan notasi nyanyian, dengan lirik yang sama seperti nyanyian
secara umum. Bahkan di antara nasyid tersebut ada yang tidak memiliki
perbedaan sama sekali dengan lagu-lagu cabul, kecuali gubahannya saja.
Adapun lirik dan lantunannya sama persis, tidak berbeda.
- Mereka melantunkan syair-syair tersebut secara individu, bukan
berjamaah. Tidak seperti yang mereka namakan nasyid Islami. (Lihat
kitabal Bayan li Akhtha` Ba’dhil Kuttab, Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal.
341, kitab At-Tahrim, Al-Albani hal. 101)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk
mengenal al-haq dan mengikutinya, dan memperlihatkan kepada kita
kebatilan agar kita dapat menjauhkan diri darinya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dinukil dari blog http://ulamasunnah.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar