بسم الله الرحمن الرحيم
Pertanyaan: Fadhilatus-Syaikh,
apakah ketika seseorang dari ulama besar salah, boleh atau dibenarkan
bagi seorang pemuda untuk membantah kesalahannya? Atau (yang harus)
membantahnya seorang ulama juga semisalnya? Dimana sebagian anak muda
lancang menolak fatwa sebagian ulama yang mana fatwa itu terkadang
sensitif menurut syariat, lalu sang ulama tersebut memfatwakannya karena
darurat atau menurutnya ada hikmah dibaliknya –barakallahufikum-, apa
pendapatmu dalam hal ini? Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Jawaban: Segala
puji bagi Allah Rab semesta alam, dan saya bersaksi bahwa tidak ada
yang berhak diibadahi kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.
(Dialah) penolong orang-orang shalih dan Rab orang-orang baik. Dan saya
bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya, penghulu anak Adam
seluruhnya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada beliau dan
keluarganya serta para shahabatnya yang baik lagi suci sampai hari
akhir. Amma ba’du:
Sesungguhnya apa yang kalian tanyakan, perlu
dilihat dari dua sisi, sebagaimana perlu dilihat kepada siapa pemilik
pendapat keliru tersebut dari dua sisi juga. Demikianlah Ahlussunnah,
mereka melihat kepada (jenis) penyimpangan dan kepada (orang) yang
menyimpang.
Adapun (jenis) penyimpangan, (ia) tidak keluar dari dua keadaan:
- Apakah penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang bukan ranah ijtihad, apakah
dalam perkara pokok agama atau cabang-cabangnya, seperti banyak
terdapat dalil Al Qur’an dan Sunnah berkenaan dengannya dan disepakati
oleh para imam (ijma’), atau telah dianggap seperti ijma’, dan ketika
itu orang yang menyimpang (mukhalif) tidak ada padanya nas-nas yang menguatkan pendapatnya.
- Atau penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang merupakan ranah ijtihad, atau perkara yang nas-nasnya (dalil-dalil) muhtamal (memiliki banyak sudut pandang).
Maka jenis pertama: yaitu perkara yang bukan merupakan ranah ijtihad, sesungguhnya penyelisihan dalam hal ini tidak benar sama sekali dan kesalahan harus disanggah dari siapa pun orangnya.
Kemudian orang yang menyelisihi (kebenaran) ini tidak lepas dari dua keadaan:
- Apakah ia seorang pengikut sunnah,
orang-orang mengenalnya sebagai orang yang istiqamah di atas sunnah,
membela sunnah dan ahlussunnah. Sebagaimana ia juga dikenal sebagai
orang yang menginginkan kebaikan bagi ummat. Maka orang seperti ini
kesalahannya tidak boleh diikuti dan kehormatannya (harus) dijaga. Dan
meskipun kita membantah kesalahannya kita tetap menjaga adab bersamanya
dan kita menjaga kehormatannya. Dan kita tidak berkata keras kepadanya
seperti kepada ahlulbid’ah para pengekor kesesatan. Dan hal yang
demikian itu sebagai bentuk penghargaan atas anugrah Allah kepadanya
berupa keutamaan dan kemuliaan serta kepemimpinan dalam agama. Maka kita
menjaga hal ini semua.
Dan apabila kalian melihat kapada
kebanyakan imam-imam di atas sunnah, orang-orang yang disaksikan manusia
(keimaman mereka) dikehidupan mereka dan begitu pula kita harap setelah
kematian mereka insyaAllah, ada pada mereka kesalahan-kesalahan,
ketergelinciran. Lalu ulama-ulama sezaman mereka membantah mereka dan
begitu pula ulama-ulama setelah mereka sambil tetap menjaga kehormatan
dan kemuliaan mereka serta tidak bertindak sewenang-wenang kepada mereka
dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kasar.
- Atau
orang yang menyelisihi (kebenaran) ini menyelisihi dalam artian
membangkang dan sombong serta merasa lebih tinggi dari kebenaran dan
mengikuti hawa nafsu. Maka orang ini tidak ada penghormatan
untuknya disisi ahlussunnah. Ahlussunnah membantah kesalahannya dan
bersikap keras kepadanya serta mensifatinya dengan bid’ah dan kesesatan.
Dan memperingatkan ummat darinya dan menggunakan ucapan-ucapan yang
keras. Kecuali apabila (hal itu) mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar daripada kemaslahatan yang diharapkan. Maka ahlussunnah (dalam hal
ini) mencukupkan dengan membantah kesalahannya dan menjauhinya. Hal
yang demikian ini apabila si mubtadi’ sesat tadi di negeri tersebut dan
dihati masyarakatnya memiliki pengaruh dan posisi, seperti kalau dia itu
seorang mufti negara atau salah seorang menteri seperti menteri wakaf
atau menteri kehakiman atau dia termasuk orang dekat pemerintahan atau
tergolong ulama yang dipercaya oleh negara dan ahlussunnah lemah. Maka
(dalam kondisi seperti ini) kita tidak mensifatinya dengan sifat-sifat
seperti ini, (tapi cukup) kita katakan: ini keliru, Asy-Syaikh fulan
keliru dalam masalah ini dan kita tidak terima ini darinya (karena)
ukurannya adalah dalil, sedangkan dalil yang ada menyelisihinya.
Dan
sudah sewajibnya bantahan itu (muatannya) ilmiyah, bersandar kepada Al
Kitab dan Sunnah sesuai pemahaman salafusshalih, jauh dari kebohongan dan
kata-kata kasar yang menjadikan orang-orang yang mendengar merasa risih
dan menjauh darinya serta meninggalkan kebenaran yang ada pada kita
atau pada kalian karena mereka mendengar kata-kata yang tidak pada
tempatnya dan tidak sesuai dengan citra seorang penuntut ilmu.
Karena
bantahan yang bersandar kepada Al Kitab dan As-Sunnah dan sesuai
pemahaman salafus-shalih, (dan bantahan yang) padanya ditampakkan
kebenaran dan dipatahkan kebatilan, orang-orang yang adil akan menerima
bantahan seperti ini dan tidak menyelisihinya meskipun mereka mencintai
pihak yang sedang dibantah ini. Dan ini mujarab –barakallahufiik- maka
perhatikanlah.
Jenis kedua dari penyelisihan-penyelisihan yaitu dalam perkara yang masih di dalam ranah ijtihad. Dalam
hal ini (cukup) bagimu menerangkan pendapat yang kuat menurutmu dan
jangan mencela pihak lain dan jangan mentahdzirnya dan jangan (pula)
engkau juluki dia mubtadi’ sesat atau menyimpang. Tapi (cukup) kamu
katakan: yang benar menurutku ini.
Sebagai contoh:
(masalah) tertib/berurutan dalam berwudhu’. Jumhur (ulama) berpendapat
tertib itu wajib. Diantara mereka Al Imam Ahmad dan murid-muridnya
–rahimahumullah-. (Sedangkan) hanafiah dan para ulama yang sependapat
dengan mereka memilih (tertib dalam berwudhu’) tidak wajib. Maka kita
membantah hanafiah (tapi) tanpa mencela dan tanpa kata-kata kasar. (Cukup) kita katakan: Yang kuat menurut kami, atau yang terkuat dari dua pendapat adalah wajib.
Contoh
lain: Orang yang meninggalkan shalat karena malas. Jumhur (berpendapat)
dia fasik, wajib diminta bertaubat, apabila ia bertaubat (dilepas),
kalau tidak dibunuh sebagai hukum had atasnya. Dan hukum atasnya seperti
orang-orang fasik lainnya. Dimandikan, dikafani dan dishalatkan dan
didoakan kebaikan untuknya dan dikubur di pemakaman ummat Islam,
keluarganya mewarisi hartanya. Dan ini adalah pendapat Az-Zuhri dan
Malik dan salah satu riwayat dari Al Imam Ahmad dan selain dari mereka.
Jumhur ulama sebagaimana telah aku jelaskan.
Sedangkan riwayat lainnya dari Al Imam Ahmad dan ini juga pendapat para muhaqqiq imam,
diantara mereka Asy-Syaikh Abdul Aziz Al Imam Al Atsari, seorang
mujtahid –rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Al Imam Al
Faqih, Al Muhaqqiq Al Mudaqqiq Al Mujtahid –rahimahullah- (berpendapat)
bahwa orang ini kafir dan diminta bertaubat, apabila ia bertaubat
(dilepas) atau kalau tidak dibunuh sebagai orang murtad. Berdasarkan ini
mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, dan tidak dishalatkan dan
tidak didoakan dan keluarganya tidak mewarisi hartanya, hartanya fa’i pemerintah (bebas) membelanjakannya pada kepentingan-kepentingan umum.
Dan
apabila kalian lihat pada keadaan dua kelompok dari para imam ini
–rahimahumullah- kalian tidak dapati ulama yang menganggap fasik orang
yang meninggalkan shalat karena malas menjuluki ulama yang menganggap
orang itu kafir sebagai khawarij. Begitu pula sebaliknya kita tidak
dapati ulama yang menganggap kafir orang yang meninggalkan shalat karena
malas menjuluki ulama yang menganggap orang itu fasik sebagai murji’ah.
Karena masing-masing mereka memiliki dalil yang kuat yang menjadi
landasan dalam pendapatnya.
Saya tambahkan. Ulama yang
mulia yang keliru dalam perkara yang menurutmu kuat. Ulama ini
menurutku hendaknya dinasihati dan diterangkan kepadanya kesalahannya.
Apabila ia tidak menerima dari kalian angkat perkaranya kepada ulama
yang lebih besar dari kalian dan dia. Karena sesungguhnya mereka akan
menasihatinya dan menerangkan (kebenaran) kepadanya dan kelak ia akan
kembali kepada sunnah insyaAllah.
Lihatlah (Asy-Syaikh) Al
Albani –rahimahullah- dan banyak imam-imam kaum muslimin, ahlussunnah
dan petunjuk –rahimahumullah- berpendapat bahwa wajah wanita bukan
aurat, boleh baginya membuka wajahnya. Sedangkan Asy-Syaikh Abdul Aziz
–Rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin –Rahimahullah- dan
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullah- berpendapat dengan
pendapat yang berbeda. Akan tetapi mereka tidak mencela (Asy-Syaikh Al
Albani). Dan para ulama membantah Asy-Syaikh Nashir (Al Albani) tanpa
mencelanya dan tidak pula ejekan atau (kata-kata) yang berlebihan.
Begitu
pula beliau (Asy-Syaikh Al Albani) memandang haramnya emas yang
melingkar dan membawakan dalil bagi pendapatnya. Dan para ulama yang
telah aku sebutkan (nama-nama mereka di atas) serta selain mereka tidak
mencela beliau. Mereka mengatakan: Asy-Syaikh Nashir Al Albani keliru dalam hal ini dan yang benar adalah ini.
Dan demikianlah barakallahufiikum para
ulama saling menghormati satu sama lain. Dan telah aku jelaskan pada
kalian ukuran/timbangan (dalam hal ini) yang aku ketahui dari ucapan
imam-imam kita dan ulama kita dalam perselisihan dan orang yang
menyelisihi. Maka perhatikanlah ini karena perkaranya tidak sama.
Diterjemahkan
oleh Al Ustadz Jafar Salih dari transkrip rekaman tanya-jawab pemuda
dari Maroko bersama Asy-Syaikh Ubaid Al Jabiri Hafidzahullah dengan
judul Al Haddul-Fashil baina Mu’amalati Ahlissunnah wa Ahlil Bathil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar