Oleh: Al Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy
Syaikh Abdullah bin Al Mar’ie pernah mengisahkan bahwa dulu ada seorang pemuda yang ingin menuntut ilmu. Dia pun pergi belajar ke Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah. Sampai di sana dia pun merasa bosan, karena pelajaran Asy Syaikh Muqbil kebanyakannya seputar ilmu hadits saja. Dia lalu ogah- ogahan belajar bahkan sampai akhirnya berhenti sama sekali, sambil bertekad di dalam hatinya untuk safar ke Saudi, belajar di hadapan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Lama dia menunggu, akhirnya kesempatan itu pun tiba. Sesampainya di sana, dia dapati Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin banyak mengajarkan fiqh. Dia pun merasa bosan. Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pun kemudian meninggal dunia. Pelajar ini akhirnya memutuskan ingin kembali ke Yaman, belajar hadits kembali kepada Asy Syaikh Muqbil. Sesampainya dia di Yaman, dia dapati Asy Syaikh Muqbil bin Hadi yang berusia lanjut sudah sakit-sakitan dan sering keluar negeri untuk berobat sampai akhirnya beliau meninggal di Saudi Arabia. Timbul penyesalan dalam hatinya, kenapa dulu dia tidak bersabar duduk di hadapan Syaikh Muqbil untuk mengambil
ilmu hadits beliau, baru kemudian berpindah untuk mengambil faidah dari ulama yang lain.
Pelajaran yang bisa dipetik dari sini adalah hendaknya seorang bersabar dalam mengambil ilmu dari seorang guru sampai tuntas. Tidak sepantasnya dia terburu-buru berpindah dari satu guru ke guru yang lain, dari satu pondok ke pondok yang lain tanpa menuntaskan belajarnya. Kita dapat saksikan sendiri, seorang santri yang sabar duduk di satu pondok, mencoba untuk istifadah, mengambil faidah dari ustadz- ustadznya di pondok itu setelah tahun demi tahun berlalu dia pun memiliki kemampuan ilmiyyah. Dia telah menamatkan banyak kitab, dan mulai mengajari teman- temannya yang lain dengan membuka halaqah-halaqah ilmu.
Sedangkan yang suka pindah- pindah pondok, tidak pernah tuntas dalam belajar. Belajar satu kitab belum selesai, sudah pindah ke pondok yang lain. Lalu ikut pelajaran kitab yang baru lagi dari awal. Belum selesai yang ini, pindah lagi. Demikian seterusnya, tidak pernah tuntas. Padahal salah satu sebab keberhasilan penuntut ilmu adalah terus- menerus belajar tanpa terputus. Perkara ini hendaknya benar- benar diperhatikan oleh para ikhwan yang berniat untuk thalabul ‘ilmi. Hendaknya mereka memilih salah satu pondok pesantren, kemudian bersabar di sana menuntut ilmu hingga tuntas, agar waktu mereka tidak terbuang hanya untuk pindah dari satu pondok ke pondok yang lain. Ada ungkapan menarik yang dulu sering kami dengar di pondok dulu, “Hubbul intiqol alamat mati konyol..” artinya kurang lebih, santri yang suka pindah-pindah pondok dia akan kecapekan pindah tanpa mendapat faedah. Wallahu a’lam, semoga bisa bermanfaat terutama bagi para syabab yang ingin memulai hidup baru sebagai penuntut ilmu. (Ditulis di Hadramaut, malam Kamis 3 Jumadil Akhir 1433 H)
Syaikh Abdullah bin Al Mar’ie pernah mengisahkan bahwa dulu ada seorang pemuda yang ingin menuntut ilmu. Dia pun pergi belajar ke Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah. Sampai di sana dia pun merasa bosan, karena pelajaran Asy Syaikh Muqbil kebanyakannya seputar ilmu hadits saja. Dia lalu ogah- ogahan belajar bahkan sampai akhirnya berhenti sama sekali, sambil bertekad di dalam hatinya untuk safar ke Saudi, belajar di hadapan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Lama dia menunggu, akhirnya kesempatan itu pun tiba. Sesampainya di sana, dia dapati Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin banyak mengajarkan fiqh. Dia pun merasa bosan. Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pun kemudian meninggal dunia. Pelajar ini akhirnya memutuskan ingin kembali ke Yaman, belajar hadits kembali kepada Asy Syaikh Muqbil. Sesampainya dia di Yaman, dia dapati Asy Syaikh Muqbil bin Hadi yang berusia lanjut sudah sakit-sakitan dan sering keluar negeri untuk berobat sampai akhirnya beliau meninggal di Saudi Arabia. Timbul penyesalan dalam hatinya, kenapa dulu dia tidak bersabar duduk di hadapan Syaikh Muqbil untuk mengambil
ilmu hadits beliau, baru kemudian berpindah untuk mengambil faidah dari ulama yang lain.
Pelajaran yang bisa dipetik dari sini adalah hendaknya seorang bersabar dalam mengambil ilmu dari seorang guru sampai tuntas. Tidak sepantasnya dia terburu-buru berpindah dari satu guru ke guru yang lain, dari satu pondok ke pondok yang lain tanpa menuntaskan belajarnya. Kita dapat saksikan sendiri, seorang santri yang sabar duduk di satu pondok, mencoba untuk istifadah, mengambil faidah dari ustadz- ustadznya di pondok itu setelah tahun demi tahun berlalu dia pun memiliki kemampuan ilmiyyah. Dia telah menamatkan banyak kitab, dan mulai mengajari teman- temannya yang lain dengan membuka halaqah-halaqah ilmu.
Sedangkan yang suka pindah- pindah pondok, tidak pernah tuntas dalam belajar. Belajar satu kitab belum selesai, sudah pindah ke pondok yang lain. Lalu ikut pelajaran kitab yang baru lagi dari awal. Belum selesai yang ini, pindah lagi. Demikian seterusnya, tidak pernah tuntas. Padahal salah satu sebab keberhasilan penuntut ilmu adalah terus- menerus belajar tanpa terputus. Perkara ini hendaknya benar- benar diperhatikan oleh para ikhwan yang berniat untuk thalabul ‘ilmi. Hendaknya mereka memilih salah satu pondok pesantren, kemudian bersabar di sana menuntut ilmu hingga tuntas, agar waktu mereka tidak terbuang hanya untuk pindah dari satu pondok ke pondok yang lain. Ada ungkapan menarik yang dulu sering kami dengar di pondok dulu, “Hubbul intiqol alamat mati konyol..” artinya kurang lebih, santri yang suka pindah-pindah pondok dia akan kecapekan pindah tanpa mendapat faedah. Wallahu a’lam, semoga bisa bermanfaat terutama bagi para syabab yang ingin memulai hidup baru sebagai penuntut ilmu. (Ditulis di Hadramaut, malam Kamis 3 Jumadil Akhir 1433 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar